Aspirasi sejumlah warga itu ditunjukkan dengan menyerahkan bukti dukungan berupa KTP ke Kantor Advokad M. Sholeh, Jl Genteng Muhammadiyah 2B Surabaya, Rabu.
Salah seorang warga, Aprizaldi mengatakan, dukungan diberikan karena warga menganggap undang-undang tersebut tidak memberi kesempatan kepada pasangan calon yang mendaftar untuk mengikuti pilkada.
"Jika hanya ada satu pasangan calon, maka sesuai undang-undang KPU menunda pilkada," ujarnya.
Aprizaldi menegaskan hak politik warga juga tak bisa digunakan ketika pilkada ditunda. Padahal menurutnya, dengan penundaan itu, menimbulkan dampak pada pemerintahan.
"Pemerintah kota tidak mengambil kebijakan strategis, karena hanya dipimpin Plt (pelaksana tugas) Walikota," katanya.
Menurut dia, hak partai politik sebenarnya untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakilnya. Apabila hak tersebut tidak digunakan, semestinya tetap tidak membatalkan demokrasi.
"Logikanya sama dengan warga tak menggunakan hak politiknya pada pemilu, tapi tidak bisa membatalkan proses pemilu," tegas pria yang disapa Aldi.
Ia mengungkapkan dalam tatanan politik, di Indonesia sebenarnya ada proses politik lokal wisdom yang namanya bumbung kosong. Meski hanya ada satu pasangan calon, proses pemilu tetap harus berjalan.
Aprizaldi mengatakan dukungan penggalangan KTP untuk menggugat UU No. 8 Tahun 2015 in dilakukan secara spontan. Pasca-KPU Surabaya memutuskan untuk memperpanjang masa pendaftaran pasangan calon, karena hingga masa akhir pendaftaran hanya ada satu pasangan calon, yakni Tri rismaharini-Whisnu Sakti Buana.
"Dukungan dengan mengumpulkan 31 KTP dari 31 Kecamatan di Surabaya ini, baru kita lakukan setelah KPU memperpanjang pendaftaran calon kepala daerah," katanya.
Sementara itu, M. Sholeh yang menerima dukungan warga untuk menggugat UU No. 8 Tahun 2015 menyatakan dukungan tersebut akan disampaikan ke Mahkamah konstitusi (MK) , Kamis (30/7).
Dukungan warga itu menindaklanjuti gugatannya ke MK yang dilayangkan sebelumnya, Rabu (22/7). Ia mengungkapkan, gugatan ke MK dilakukan, karena ada kebuntuan hukum pada undang-undang Pilkada yang mensyaratkan pasangan calon yang akan mengikuti pilkada minimal 2 pasangan calon.
Menurutnya, peraturan tersebut tidak memberikan solusi ketika syarat tersebut tidak tercapai. "Undang-undang hanya menyatakan ketika tidak tercapai akan mememperpanjang masa pendaftaran selama 3 hari, setelah itu tidak ada solusi," terangnya.
Mantan Aktifis PRD ini mengatakan, penundaan pilkada bertentangan dengan Pasal 201 UU Pilkada, yang isinya, kepala daerah yang masa jabatannya habis 2015 sampai semester pertama 2016, pelaksanaan pilkadanya Desember 2015. "Jadi, gak mungkin bisa ditunda," tegasnya.
Untuk menyelesaikan masalah itu, Sholeh menambahkan, pihaknya mengusulkan ke MK, satu pasangan yang mendaftar tetap sah sepanjang negara sudah memberikan hak kepada parpol untuk mendaftar.
"Ketika hak itu tidak digunakan calon perseorangan, parpol atau gabungan parpol maka proses pilkada tetap jalan, dan bukan salah negara," jelas Alumnus Universitas Wijaya Kusuma.
Sholeh mengungkapkan apabila gugatannnya dikabulkan akhir Agustus atau awal September maka proses pilkada bisa dilanjutkan. Tetapi sebaliknya, sepanjang belum ada keputusan MK, namun pascamasa perpanjangan pendaftaran berakhir dan KPU mengeluarkan ketetapan untuk menunda pilkada 2015 ke 2017, pihaknya akan melawan melalui jalur konstitusional ke MK.
"Prinsipnya undang-undang mengalami kebuntuan tidak ada jaminan di tunda 2017 tidak digoyang lagi sampai kiamat tidak ada pilkada," katanya.
Ia menegaskan, pilkada merupakan sarana politik demokrasi lokal 5 tahun sekali. Pelaksanaan pilkada telah dijamin oleh UUD 1945.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015