Tidak pernah ada isolasi, tahanan boleh bergaul dengan sesama tahanan lain ..."

Jakarta (ANTARA News) - KPK menegaskan tidak ada isolasi yang dilakukan terhadap pengacara senior Otto Cornelis Kaligis saat ditahan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014.

"Kalau seseorang baru dikenakan penahanan, masuk ke rutan, bukan dan tidak pernah ada istilah isolasi, tapi kalau kita harus menjalani proses penahanan di rutan atau di lapas yang baru sekali masuk di dalam rutan, itu namanya masa pengenalan pengamatan penelitian lingkungan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Rabu.

Para penasihat hukum OC Kaligis sebelumnya mengajukan praperadilan karena menilai bahwa KPK melanggar hak asasi manusia (HAM) dengan tidak membolehkan keluarga dan kuasa hukum membesuknya selama seminggu sejak ditahan 14 Juli 2015, dan baru bisa dijenguk 23 Juli 2015.

"Kalau bicara rutan atau lapas pelaksanaan merujuk pada UU Pemasyarakatan dan Keputusan Ditjen PAS mengenai masa pengenalan lingkungan ini berada di Putusan Ditjen PAS No 22 tahun 2001, yang dalam praktiknya biasanya diperkenalkan bagaimana mengenal lingkungan dalam rutan," ujar Indriyanto.

KPK membantah bahwa OC Kaligis ditempatkan pada sel tahanan yang terpisah (terisolasi) dari tahanan lain.

"Tidak pernah ada isolasi, tahanan boleh bergaul dengan sesama tahanan lain, dan masa itu juga digunakan untuk mengenal bagaimana lingkungan di tahanan. Tidak ada proses isolasi sama sekali," ungkap Indriyanto.

Perlakuan KPK terhadap OC Kaligis juga sama dengan perlakukan terhadap tahanan lain.

"Tidak ada istilah isolasi, yang ada pengenalan lingkungan dan di KPK ruang tahanan itu ada tempat tidurnya, ada kamar mandinya dan di mana-mana seperti itu, rutan KPK malah lebih enak," katanya.

Dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian suap terhadap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, KPK sudah menetapkan delapan tersangka.

Tersangka penerima suapnya adalah Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, anggota majelis hakim Amir Fauzi dan Dermawan Ginting, serta panitera/Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.

Adapun tersangka pemberi suap adalah pengacara senior OC Kaligis, anak buahnya bernama M. Yagari Bhastara Guntur alias Gerry, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evi Susanti.

Perkara ini dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi dan juga Kejaksaan Agung terkait perkara korupsi dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014.

Atas pemanggilan berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang dikeluarkan oleh Kejati Sumut, Fuad pun menyewa jasa kantor pengacara OC Kaligis untuk mengajukan gugatan ke PTUN Medan.

Dalam putusannya pada 7 Juli 2015, majelis hakim yang terdiri dari ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan anggota Amir Fauzi serta Dermawan Ginting memutuskan untuk mengabulkan gugatan Fuad.

Pada 9 Juli 2015 KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di PTUN Medan terhadap Tripeni dan Gerry sehingga didapatkan uang 5.000 dolar AS di kantor Tripeni. Kemudian, KPK juga menangkap dua hakim anggota bersama panitera/sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.

KPK juga mendapat keterangan bahwa uang tersebut bukan pemberian pertama, karena Gerry sudah memberikan uang 10.000 dolar AS dan 5.000 dolar Singapura.

Uang tersebut, menurut pernyataan pengacara yang juga paman Gerry, Haeruddin Massaro, berasal dari OC Kaligis yang diberikan ke Dermawan Ginting pada 5 Juli 2015.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015