Jakarta (ANTARA News) - KPK segera memeriksa Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evi Susanti sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
"Yang harus segera kita lakukan adalah melakukan pemeriksaan kepada yang bersangkutan sebagai tersangka. Kemungkinan pekan ini atau pekan depan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu.
Namun Johan tidak menjelaskan apakah setelah diperiksa sebagai tersangka, keduanya juga akan langsung ditahan.
"Kalau menurut subjektivitas penyidik perlu penahanan maka dilakukan penahanan," tambah Johan.
Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro (TIP), anggota majelis hakim Amir Fauzi (AF) dan Dermawan Ginting (DG), panitera/Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan (SY) yang keempatnya sudah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan anak buah pengacara OC Kaligis bernama M Yagari Bhastara alias Gerry.
Tersangka lain adalah OC Kaligis yang diduga juga sebagai pemberi suap dan ditangkap di Hotel Borobudur Jakarta pada 14 Juli 2015 dan langsung ditahan pada hari yang sama.
"Kalau GPN (Gatot Pujo Nugroho) dan ES (Evi Susanti) adalah pengembangan proses OTT. Soal penahanan merupakan hak subjektif penyidik, seseorang ditahan bila dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan dan atau memengaruhi saksi," tambah Johan.
KPK pun masih mengembangkan perkara ini sehingga tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain.
"Memang penetapan dua tersangka ini belum berhenti pada titik sekarang, pengembangan ke pihak-pihak yang diduga terlibat, dasarnya bila penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup bahwa ada pihak-pihak lain maka akan diproses juga," jelas Johan.
Gatot dan Evi disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a dan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b dan atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Perkara ini dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi dan juga Kejaksaan Agung terkait perkara korupsi dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014.
Atas pemanggilan berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang dikeluarkan oleh Kejati Sumut, Fuad pun menyewa jasa kantor pengacara OC Kaligis untuk mengajukan gugatan ke PTUN Medan.
Dalam putusannya pada 7 Juli 2015, majelis hakim yang terdiri dari ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan anggota Amir Fauzi serta Dermawan Ginting memutuskan untuk mengabulkan gugatan Fuad.
Namun pada 9 Juli 2015, KPK melakukan OTT di PTUN Medan terhadap Tripeni dan Gerry sehingga didapatkan uang 5 ribu dolar AS di kantor Tripeni. Belakangan KPK juga menangkap dua hakim anggota bersama panitera/sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.
Selanjutnya diketahui juga bahwa uang tersebut bukan pemberian pertama, karena Gerry sudah memberikan uang 10 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura sebelumnya.
Uang tersebut menurut pernyataan pengacara yang juga paman Gerry, Haeruddin Massaro berasal dari Kaligis yang diberikan ke Dermawan Ginting pada 5 Juli 2015.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015