Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Hendri Saparini mengingatkan peningkatan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio/DSR) harus diwaspadai, apalagi kinerja ekspor diperkirakan lesu selama sisa tahun 2015.
Dalam diskusi "Managing Economic Slowdown" di Jakarta, Selasa, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) itu mengatakan, posisi DSR Indonesia di triwulan I 2015 yang sebesar 56,08 persen sudah mengkhawatirkan dan melampaui batas aman yang ditetapkan lembaga keuangan Dana Moneter Internasional (IMF).
"DSR yang melampaui 50 persen tersebut sudah lampu merah, mengingat batas aman DSR menurut IMF ada di kisaran 30 persen," ujarnya.
Hendri mengatakan, investor asing juga akan memperhitungkan kenaikan DSR Indonesia sebagai risiko untuk menanamkan modalnya atau memberikan pinjaman ke Indonesia.
Akibatnya, kenaikan DSR akan menghambat pemerintah untuk memperoleh pembiayaan.
"Apalagi ditambah tren meningkatnya suku bunga. Nanti pembiayaan untuk APBN bisa semakin mahal," ujar dia.
Oleh karena itu, Hendri menyarankan, pemerintah fokus untuk memperbaiki kinerja penerimaan ekspor.
Dia meminta pemerintah melakukan ekstensifikasi komoditas ekspor dan juga sasaran pasar.
Pemerintah, ujarnya, juga perlu memanfaatkan kerja sama yang sudah terjalin dengan sejumlah negara mitra seperti Tiongkok untuk menemukan potensi baru dalam memulihkan kinerja eskpor.
"Perlu optimalisasi kebijakan bilateral misalnya dengan Tiongkok untuk eskpor buah-buah tropis. Selain itu pemerintah juga harus memanfaatan lobi-lobi politiknya," ujar dia.
Menurut data di laman Bank Indonesia (BI), posisi DSR pada kuartal I 2015 sebesar 56,08 persen, naik dibanding kuartal IV 2014 sebesar 51,6 persen.
Pewarta: Indra Arief P
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015