"Hari pertama masuk sekolah berlaku secara nasional. Ada kegiatan MOS. Namun kadang menjadi momentum ngerjain siswa baru," kata Susanto saat dihubungi dari Jakarta, Senin.
Menurut dia, ada beberapa pandangan dari sebagian siswa bahkan sekolah yang masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam MOS. Beberapa sebab karena ada beban sejarah dalam kegiatan MOS tersebut.
MOS, kata dia, merupakan rangkaian kegiatan awal bagi siswa baru yang seringkali masih menyisakan masalah. Tak sedikit MOS masih berkultur lama yang membudayakan kekerasan.
Kegiatan orientasi untuk siswa baru itu, lanjut Susanto, menjadi salah satu proses pembentukan mental siswa baru kendati malah mengarah pada kekerasan yang bersenyawa dengan pendidikan.
"Pandangan demikian tentu tidak boleh terjadi. Karena kekerasan tidak bersenyawa dengan pendidikan. Maka, tidak boleh ada muatan kekerasan dalam bentuk apapun dalam MOS," katanya.
MOS, kata Susanto, seharusnya dilaksanakan tanpa muatan kekerasan baik kekerasan verbal, psikis, seksual maupun fisik.
Sebaiknya, MOS dikembangkan dengan pendekatan dan metode yang membangkitkan karakter unggul siswa, bukan melemahkan potensi majemuk yang ada pada siswa.
MOS juga harus dipastikan aman dan nyaman untuk semua anak. Perlu juga dipastikan tidak ada kultur senioritas yang memicu kekerasan.
Kegiatan MOS, lanjut dia, harus dipastikan menenangkan para orangtua siswa, bukan membuat resah dan waswas yang memicu salah faham antara orangtua dan sekolah.
Kegiatan MOS, kata Susanto, tidak boleh lagi ada "dendam sejarah". Karena tidak sedikit senior memperlakukan junior sebagaimana dia diperlakukan saat mereka masuk sekolah. MOS juga harus memastikan tidak memilih lokasi yang membahayakan keselamatan anak.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015