Jakarta (ANTARA News) - Menjadi petugas pemadam kebakaran ternyata tidak bisa hanya mengandalkan fisik tapi juga harus berjiwa sabar.
"Selain fisik yang harus prima, menjadi seorang petugas pemadam kebakaran itu otak dan jiwanya juga harus prima. Kalau tidak, akan gampang panas saat bertugas," kata Puryantoro yang sudah 25 tahun menjadi pemadam.
Dia menjelaskan, pemadam memiliki prosedur saat menjalankan tugas.
"Saya pernah ditimpuk pakai batu bata karena dianggap tidak mau memadamkan api di rumah warga dan malah menyirami rumah yang tidak terbakar," kata Pak Pur, panggilan akrabnya.
"Menyiram rumah yang tidak terbakar tapi ada di sekitar lokasi adalah sebagai upaya melokalisir api, kami mencegah supaya api tak merambat."
"Kami sadar itu manusiawi sekali terjadi pada manusia saat mengalami musibah seperti kebakaran, semua pasti gampang naik darah kalau mengalaminya. Kami sih terima saja, tidak perlu menuntut ini itu atas sikap masyarakat," kata Pak Pur.
Puryantoro kini menjabat Ketua Regu Bidang Keselamatan, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Pusat. Dia sudah mengikuti pelatihan Anti Terrorism Assistance Program di Albuquerque, New Mexico, Amerika Serikat pada tahun 2002.
Dia juga mengeluhkan anggapan petugas pemadam kebakaran mau datang setelah dibayar.
"Petugas pemadam kebakaran melakukan tugas tanpa minta imbalan. Kalau pun ada yang begitu, kan jelas dia pakai seragam dan ada namanya. Laporkan saja," kata Pak Pur.
Selain itu, Pak Pur mengatakan, masyarakat juga sering menganggap kinerja pemadam kebakaran buruk karena datang terlambat ke lokasi kebakaran.
"Padahal itu di luar kuasa kami, begitu mendapat laporan dan dikonfirmasi bahwa benar ada kebakaran di lokasi A, kami langsung terjun tapi kan namanya lalu lintas Jakarta macet. Belum lagi kalau sudah sampai permukiman banyak yang menghambat saat masuk-masuk gang, ada sepeda motor lah, jemuran, gerobak dan lain-lain, ya itu memakan waktu."
"Kalau begitu ada kejadian kami sudah ada di sana, itu namanya kita paranormal dong karena sudah tahu duluan," kata Pak Pur.
Pak Pur yang sudah 25 tahun menjadi petugas Damkar itu mengatakan, sebenarnya tak melulu pengalaman buruk yang didapatnya saat menjadi petugas pemadam.
Ia mengaku, bertemu isterinya Rr Retno Budiastuti (38) karena bekerja sebagai pemadam.
"Saat itu saya sedang melakukan tugas evakuasi banjir di Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat. Karena air yang kotor saya kena muntaber semiggu penuh dan dirawat di RS Sumber Waras. Seminggu itu saya dirawat sama suster yang menurut saya kok solehah sekali, lalu begitu keluar rumah sakit saya langsung sowan ke rumah orang tuanya saya lamar. Tak ada pacaran, karena prinsip saya percintaan itu tidak berakhir saat menikah tapi justru dimulai setelah menikah. Sampai sekarang kami pacaran terus, hehe," kata bapak beranak dua itu.
Tapi, matanya kemudian berkaca-kaca saat mengenang salah seorang anggotanya, Sulistyono yang gugur saat pemadaman di sebuah hunian padat di daerah Jakarta Barat sekitar tahun 2003.
"Sebenarnya waktu itu tugas sudah dinyatakan selesai, kami sudah over hauled, tapi ada satu warga lapor masih ada api. Lalu kami kembali, tanpa menyadari struktur itu sudah bangunan tua. Lalu ambles dan waktu itu kedua kaki Sulistyo tertimpa beton, dia tak terselamatkan, rasanya waktu itu saya nge-blank karena pikiran saya hanya menyelamatkan dia saja. Semuanya terjadi begitu cepat," katanya.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015