Pasar bandeng, sebuah perayaan rakyat yang mengakar dalam relung jiwa orang-orang Gresik, terus berjalan melintasi waktu, tak lekang oleh perubahan zaman.
Disimak sampai dekade 70-an, peristiwa kultural yang konon dirintis oleh para pengikut Raden Paku alias Sunan Giri itu tidak banyak mengalami perubahan berarti.
Di festival populer itu, yang berlangsung setiap dua hari menjelang Idul Fitri, para petambak ikan bandeng di wilayah Pantura, seperti Gresik, Tuban, Lamongan dan Sidoarjo, menjual hasil panen ternak bandeng mereka setelah menyiapkannya jauh-jauh hari.
Pada malam hari, saat pasar rakyat itu dilangsungkan, ratusan penjual bandeng menggelar dagangan mereka di sepanjang jalan utama yang sehari-hari menjadi wilayah pusat pertokoan.
Ikan bandeng menjadi mata dagangan utama, sementara beragam barang lainnya menjadi pelengkapnya.
Entah karena tradisi yang diciptakan para pengikut salah satu anggota wali songo itu atau karena kelezatan naturalnya, bandeng menjadi ikan yang sangat populer dan digemari orang-orang Gresik. Boleh dibilang setiap Lebaran, menu utama rakyat Gresik adalah bandeng yang diolah dalam segala macam resep masakan.
Yang paling lazim di lidah warga yang mayoritas berkarakter Islam Nahdlatul Ulama (NU) itu adalah gulai bandeng. Namun istilah gulai ini tak dikenal oleh orang Gresik. Mereka punya nama tersendiri yang otentik, yakni kothok bandeng. Racikan bumbunya ya tak jauh beda dari gulai yang sarat dengan rasa gurih santan.
Menu kedua yang namanya agak membingungkan orang luar Gresik adalah bali bandeng. Bali bandeng tak ada kaitannya dengan Bali yang melahirkan koreografer kondang Ketut Rina dan pelukis kenamaan Ketut Reggeg itu.
Masakan bali bandeng setara dengan bandeng dibumbuhi dengan cabe merah sebagai bumbu utama.
Di atas semua menu yang lazim itu, terdapat olahan khas eksotis bernama otak-otak bandeng. Jika anda tinggal di Jakarta dan sekitarnya, anda mungkin membayangkan otak-otak ikan tenggiri, yang dibuat dari campuran tepung dan ikan tenggiri yang dibungkus daun pisang, lalu dibakar.
Otak-otak bandeng sama sekali bukan seperti itu. Ini makanan eksklusif yang terlalu mewah untuk dikonsumsi sehari-hari, terutama bagi rakyat jelata di dasawarsa 70-an ke belakang. Pembuatannya pun butuh kiat khusus dan rasanya terlalu gurih untuk dimakan tanpa nasi.
Begitulah tradisi pasar bandeng menurunkan aneka kuliner khas Gresik.
Pasar bandeng dikemas dengan format yang tak banyak berubah. Selalu ada gairah untuk memelihara bandeng di tambak selama mungkin untuk menghasilkan bandeng terbesar dan bandeng itulah yang akan dilelang pada puncak acara malam pasar bandeng.
Karena namanya lelang, harga yang dilontarkan di hadapan peserta lelang pun tidak mengikuti hukum pasar yang normal. Untuk pasar bandeng kali ini, harga bandeng itu dipatok senilai Rp250.000,- per kilo.
Bandeng-bandeng yang dijual di luar arena pelelangan pun umumnya sekitar sebesar sekilo seekor. Selayaknya situasi di pasar tradisi, pedagang bebas menawarkan bandeng, dan pembeli yang terbiasa belanja di swalayan dibuat bingung oleh beragam harga yang bervariasi.
Meski hakikatnya pasar rakyat yang berkonotasi untuk kaum jelata, festival pasar bandeng diminati kaum berduit karena faktor bandengnya. Orang-orang yang berkampung halaman di Gresik yang sukses maupun yang gagal yang hidup di perantauan berjuang untuk mudik bukan sekadar silaturahmi saat Lebaran dengan sanak saudara, tapi juga untuk mengunjungi keramaian pasar bandeng.
Tentu yang paling melimpah hadir di pasar bandeng adalah kaum jelata. Di saat itulah mereka mempersiapkan Lebaran dengan memberi segala macam keperluan seperti sandang dan mainan.
Busana yang dijual kebanyakan bermerek internasional, namun berkualitas imitasi. Segala macam merek jetset tapi dengan kualitas abalabal diperdagangkan di sana. beragam mainan tradisional juga tak ketinggalan. Namun, ketika anak-anak mulai gemar dengan gawai untuk menghibur diri dengan segala rupa permainan daring, mainan tradisional itu tak lagi diperdagangkan dalam jumlah besar seperti tiga dasawarsa silam.
Topeng kardus berbentuk kepala singa, topi pasukan romawi dengan pedang kayu menjadi mainan paling disukasi dan laring di masa tiga dekade silam.
Mungkin suatu saat nanti mainan itu akan terkubur oleh zaman yang kian canggih. Namun, diperkirakan pasar bandeng akan tetap bertahan, setidaknya sampai orang-orang Gresik merasa perlu melanggengkan kreasi penyebar iman yang kini mereka peluk dengan segala rasa hormat dan takzim.
Pasar bandeng berkelindan dengan iman orang-orang Gresik. Di malam ke-25 Ramadhan, ribuan orang Gresik berduyun-duyun mengunjungi makam Sunan Giri. Mereka mendaras ayat-ayat suci di ruang makam penyebar Islam di tanah Jawa itu.
Warga Gresik yang kental dengan kultur keislamannya yang bercorak kaum sarungan menghidupkan nilai-nilai keislaman itu dengan berziarah ke makam Sunan Giri. Tujuannya tentu sangat spiritualistik. Meraih keberkahan Ilahi. Mereka beritikaf, berdiam diri di kompleks yang terletak di atas bukit kapur itu.
Dalam lintasan waktu, tradisi pasar bandeng dan spiritualisme mengapresiasi jasa sang wali terus berjalan, berkelindan di salah satu kota tua di Jawa Timur itu.
Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015