Kalau memang terbukti atau ada bukti permulaan yang cukup, maka petahana sebagai seorang pejabat negara bisa dimintai pertanggungjawaban hukum, kata Ida di Jakarta, Rabu.
"Tidak hanya menurut hukum pidana pemilihan, tapi juga menurut hukum tindak pidana korupsi," tegasnya.
Ida menjelaskan, peraturan KPU akan segera mengadaptasi putusan MK. "Terutama peraturan KPU 9 tentang pencalonan, karena yang diuji berkaitan dengan syarat calon," sambung dia.
Surat edaran yang sudah ada, kata Ida, seandainya terjadi perubahan pada norma KPU membuat surat edaran itu menjadi tidak berlaku.
Langkah yang kemudian ditempuh KPU adalah menjelaskan kepada KPUD Kabupaten/Kota dan meminta mereka segera menyosialisasikan perubahan peraturan kepada pemangku kepentingan utama dalam Pilkada.
"Kalau pasal itu benar dibatalkan dan bertentangan dengan konstitusi, tentu KPU harus menyesuaikan," ucapnya.
Kemarin (8/7), MK mengabulkan sebagian permohonan dari uji materi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemohon mengajukan uji materi dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s.
Pasal 7 huruf r tersebut berbunyi, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Mahkamah mengatakan Pasal 7 huruf r dan penjelasannya memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, dan menimbulkan multitafsir karena menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif.
Pewarta: Calvinantya Basuki
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015