Jakarta (ANTARA News) - Letnan Jenderal TNI (Purn) Dr (HC) Sutiyoso menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ke-14 sejak lembaga itu berdiri dengan nama Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) pada 1946. Dia juga orang kedua yang pernah menjabat Panglima Kodam Jaya setelah Letjen TNI (Purn) AM Hendropriyono yang memimpin BIN.
Namun Bang Yos, panggilan akrabnya, adalah orang pertama yang memiliki pengalaman terlengkap untuk menjadi orang nomor satu di institusi intelijen negara.
Tak hanya pengalaman matang di dunia militer yang digelutinya sejak lulus dari Akademi Militer Nasional di Magelang pada 1968 tetapi juga di birokrasi sipil saat sepuluh tahun menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta selama menjabat Gubernur sejak 1997.
Pria kelahiran Semarang 6 Desember 1944 dan anak ke-6 dari delapan bersaudara dari pasangan Tjitrodihardjo dan Sumini itu juga berpengalaman memimpin organisasi berbagai cabang olah raga (sepak bola, menembak, basket, bulu tangkis, dan golf).
Pernah pula memimpin Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia bahkan merupakan politisi yang pernah menjadi bakal calon presiden dan memimpin Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 5 Juli lalu karena kesiapannya menjalankan tugas baru sebagai Kepala BIN.
Di bidang militer, Sutiyoso yang merupakan prajurit pasukan elit TNI Angkatan Darat, Kopassus, lekat dengan pengalaman intelijen dalam berbagai operasi militer seperti Operasi PGRS/Paraku (1969), Operasi Flamboyan, Timtim (1975), dan Operasi Aceh Merdeka (1978).
Suami dari Setyorini dan ayah dari dua puteri, Yessi Riana Dilliyanti dan Renny Yosnita Ariyanti, ini pernah bertugas di Kopassus mulai dari jabatan Komando Peleton tahun 1969 hingga menjadi Asisten Operasi Komandan Kopassus tahun 1991. Sempat ditugaskan ke Kostrad sebagai Asisten Operasi dan kembali ke Kostrad sebagai Wakil Komanda pada 1992.
Pada 1993, Sutiyoso ditugaskan sebagai Komandan Korem 061/Suryakencana, Bogor. Pada 1994 Korem 061/Suryakencana dinobatkan sebagai Korem terbaik seluruh Indonesia dengan Sutiyoso sebagai Komandan Korem terbaik.
Sutiyoso dinilai berprestasi setelah menyelesaikan kasus sengketa tanah Rancamaya yang memanas sejak tahun 1989 tersebut. Dalam KTT Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 1994 di Istana Bogor, Sutiyoso sukses menjalankan tugasnya sebagai penanggung jawab keamanan.
Karirnya meningkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Setahun kemudian, pada 1996 ia dipromosikan menjadi Pangdam Jaya.
Sebagai Pangdam Jaya, peristiwa 27 Juli 1996 menjadi salah satu batu ujian berat yang diembannya. Peristiwa penyerangan aparat ke Markas PDI saat itu untuk mengosongkan para pendukung Megawati Soekarno Putri membawa sejumlah korban dan terekam dalam sejarah kelabu negeri ini.
Kerusuhan yang terjadi dalam peristiwa tersebut mampu diminimalisir dan tidak meluas. Peristiwa tersebut tidak menghalangi hubungan baik antara Sutiyoso dengan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputeri.
Sutiyoso menjabat sebagai Gubernur DKI pada Oktober 1997-2002, kembali maju sebagai Gubernur Jakarta pada 2002-2007.
Setelah reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, Sutiyoso mampu mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur untuk periode kedua, 2002 - 2007. Padahal kala itu, PDIP di bawah kepemimpinan Megawati menjadi partai pemenang Pemilu 1999.
Di bawah kepemimpinannya, sejumlah perubahan terjadi di Jakarta. Proyek angkutan massal TransJakarta menjadi warisan karyanya. Sutiyoso juga menerima sejumlah penghargaan atas inisatifnya dalam memimpin Jakarta.
Penghargaan 2006 Asian Air Quality Management Champion Award dari Clear Air Initiative for Asian Cities (CAI) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dianugerahkan kepadanya atas Gagasan pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) terbesar di Asia melalui Busway Penerbitan Perda Nomor 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Gelar pahlawan pengelolaan kualitas udara di Asia diberikan dengan pertimbangan berhasil dalam mengembangkan angkutan umum TransJakarta (busway) yang mengurangi emisi gas kendaraan bermotor di Jakarta. Pembentukan fasilitas umum busway meniru sistem bus rapid transportation (BRT) di Bogota (Kolombia) dan menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang mempunyai Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Perda 2/2005).
Penghargaan serupa diberikan kepada Direktur Jenderal Pengendalian Polusi Departemen Lingkungan Hidup Thailand Supat Wangsongwatana, pengamat senior Lingkungan Hidup Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Swedia Sara Stenhammar, dan seorang hakim di Lahore (Pakistan) Hamid Ali Shah.
Usai menjadi Gubernur, Sutiyoso memilih PKPI sebagai tempat berlabuh. Ia menjadi Ketua Umum pada 2010 menggantikan Meutia Hatta. Gagal melenggang ke Senayan pada pemilu 2014, PKPI yang diketuai Sutiyoso memilih merapat ke Koalisi Indonesia Hebat untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden.
Loyal
Sutiyoso mengaku akan senantiasa loyal kepada Presiden Jokowi dengan memberikan yang berbaik, dan kerja keras.
"Saya akan berikan loyalitas tegak lurus hanya kepada Presiden," kata Sutiyoso yang sangat mulus menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI untuk duduk di kursi Kepala BIN.
Bang Yos ingin membangun institusi BIN yang tangguh dan profesional, mampu menyediakan intelijen secara cepat, tepat, dan akurat dalam rangka deteksi dini untuk cegah, tangkal, dan menanggulangi segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi, keutuhan, keamanan, dan kepentingan nasional.
BIN yang tangguh dan profesional, harus melingkupi semua aspek mulai dari struktur organisasi, sumber daya manusia, kegiatan, operasinya, dan peralatannya. Semua harus dibangun secara modern dan maju, sejalan dengan standar terbaik intelijen di dunia.
Dia menjelaskan visi tersebut diterjemahkannya ke dalam 11 butir misi BIN, mulai penguatan koordinasi intelijen negara hingga modernisasi peralatan.
"Lalu program yang dirumuskan terdiri dari delapan program, salah satunya penguatan kelembagaan BIN yang meliputi tujuh bagian," katanya.
Sutiyoso juga akan memperkuat intelijen siber Indonesia karena selama ini perlengkapannya ketinggalan dengan negara-negara barat. Peralatan intelijen siber Indonesia harus setara dengan negara lain apabila ingin memiliki intelijen yang tangguh dan profesional.
Bila ditelusuri dari pendahulunya, Kepala Badan Rahasia Negara Indonesia Kolonel Zulkifli Lubis (1946-1958), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Kolonel Laut Pirngadi (1958-1959), Kepala Badan Pusat Intelijen Soebandrio (1959-1965), Letjen TNI Soeharto (1965-1966), Kepala Komando Intelijen Negara Brigjen Yoga Soegama (1966-1967), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Soedirgo (1967-1968), Mayjen Sutopo Juwono (1968-1974), Mayjen Yoga Soegama (1974-1989), Letjen Sudibyo (1989-1996), Letjen Moetojib (1996-1998), Letjen Zaini Azhar Maulani (1998-1999),
Kepala BIN Letjen Arie J Kumaat (1999-2001), Letjen Abdullah Makhmud Hendropriyono (2001-2004), Letjen Syamsir Siregar (2004-2009), Jenderal Pol Sutanto (2009-2011), dan Letjen Marciano Norman (2011-2015), Sutiyoso telah menjalani berbagai pengalaman tugas terlengkap sebelum menduduki jabatan Kepala BIN.
Namun tentu saja Sutiyoso perlu meneladani para pendahulunya seperti Zulkifli Lubis yang merupakan lulusan sekaligus komandan intelijen pertama di Indonesia, Soeharto yang kian meroket hingga menjadi Presiden Republik Indonesia terlama, Yoga Soegama yang dua kali menduduki jabatan itu pada periode 1960-an dan 1970-an hingga 1980-an yang kian meningkatkan kiprah intelijen Indonesia di dunia internasional, dan pendahulu lainnya yang memiliki prestasi masing-masing.
Presiden Joko Widodo, sebagaimana disampaikan Koordinator Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki, menilai Sutiyoso memiliki pengalaman lengkap di kemiliteran, intelijen, dan birokrasi sipil sehingga sangat membantu penugasan barunya sebagai Kepala BIN terutama dalam deteksi dini atas ancaman stabilitas keamanan.
Marciano Norman meyakini Sutiyoso sebagai penggantinya bakal mampu membawa BIN semakin maju dan mampu menghadapi tantangan seperti kewaspadaan atas gerakan radikalisme dan pengamanan pilkada serentak yang baru pertama kali berlangsung di Indonesia pada Desember mendatang dan berpotensi menimbulkan kerawanan.
Oleh Budi Setiawanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015