"Pada 16 Juli tinggi bulan di wilayah Indonesia secara umum kurang dari tiga derajat, secara astronomi itu mustahil bisa dirukyat," kata Thomas Djamaludin di Bandung, Jabar, Rabu.
Menurut dia, dengan posisi itu maka sulit untuk bisa melihat hilal pada hari itu. Terlebih bila pengamatan juga terkendala oleh awan.
"Mungkin kendala awan bisa minimal karena pada musim kemarau, tapi dengan posisi bulan itu secara astronomi tidak mungkin dirukyat," tukasnya.
Dengan demikian, kata di kemungkinan penetapan 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri tahun ini berbeda sangat besar. Di satu sisi ada ormas Islam yang telah menetapkan kalender 1 Syawal pada 17 Juli.
Namun, bagi yang berpatokan pada hilal atau hasil rukyat, menurut Thomas kemungkinan besar menetapkan 1 Syawal pada 18 Juli. Namun demikian, diharapkan bila ada perbedaan tersebut tidak menjadi permasalahan karena masing-masing menetapkan memiliki alasan hukum yang kuat.
Lebih lanjut ia menyebutkan, Lapan akan mengamati hilal di Pekalongan dan berkoordinasi dengan jaringan pengamat hilal nasional bersama ITB, BMKG, Kominfo dan instansi lainnya.
Pada kesempatan itu berharap semua ormas Islam tetap punya visi mewujudkan kalender tunggal yang mapan, termasuk dalam penetapan 1 Syawal.
"Dengan tetap punya visi mewujudkan kalender Islam yang mapan, bisa memberi kepastian waktu ibadah dan kegiatan sosial jangka panjang," tutur Thomas.
Menurut Thomas, upaya-upaya itu harus dilakukan intensif sambil terus mengupayakan penyatuan kriteria. Langkah jangka pendek yang bisa dilakukan salah satunya menjadikan pemerintah sebagai otoritas tunggal.
Lebih lanjut ia menyebutkan dengan otoritas ada di pemerintah kalender Islam nasional bisa dikembangkan ke tingkat regional ASEAN, dan selanjutnya ke tingkat global.
Pewarta: Syarif Abdullah
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015