Serang (ANTARA News) - Populasi badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang diperkirakan 60 badak, berkurang sekitar empat ekor karena mati pada periode 2011 sampai 2014.
Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Mohammad Haryono di Serang, Selasa, mengatakan berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan TNUK dengan menggunakan 100 kamera video trap yang dimulai sejak Januari hingga Desember 2014.
Saat ini total minimum populasi badak Jawa berjumlah sekitar 57 ekor yang terdiri dari 31 jantan dan 26 betina.
"Ini komposisi tidak ideal, seharusnya satu jantan empat betina. Ini yg menyebabkan pertumbuhannya lamban," kata Haryono saat Ekpose Hasil Monitoring Populasi Badak Jawa Tahun 2014, yang digelar Balai Taman Nasional Ujung Kulon bersama Plt Gubernur Banten Rano Karno, di Pendopo Gubernur Banten, KP3B di Serang.
Sementara dari 60 individu badak jawa yang pernah terekam pada monitoring sebelumnya yakni 2011 sampai 2013, sebanyak 52 individu terekam kembali.
"Saat ini, analisa kumulatif dari 2011 hingga 2014, dari 60 ekor badak, empat meninggal dan kelahiran baru satu ekor.Total minimum diperkirakan ada 57 ekor," kata Haryono.
Sementara terkait penyebab matinya badak tersebut, kata Haryono, diperkirakan karena penyakit atau faktor alam lainnya. Namun dari analisa yang mengancam kehidupan badak jawa selain faktor alam, adalah binatang pemangsa lain seperti anjing hutan.
"Dari keempat badak yang mati tersebut, dua di antaranya mati pada 2014 dan lainnya pada kurun waktu 2011 hingga 2013. Terbaru ditemukan pada 12 November 2014," katanya.
Menurut Haryono, informasi mengenai demografi badak jawa merupakan parameter yang sangat penting dalam upaya melestarikan satwa langka tersebut.
Badak jawa, menurut Haryono, mempunyai sifat soliter dengan indra penciuman yang sangat tajam sehingga sulit dijumpai secara langsung di lapangan.
"Inilah yang menjadi kendala utama dalam melakukan monitoring populasi satwa tersebut. Namun dengan ditemukannya satu individu anak badak jawa pada tahun 2014 lalu, menunjukan bahwa populasi badak jawa di TNUK masih mengalami perkembangan secara alami walaupun sangat lambat," katanya.
Pewarta: Mulyana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015