Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI akan memanggil Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Menteri Agama (Menag) berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memajukan jadwal ujian nasional (UN) 2007 dari bulan Juni menjadi bulan Mei. Kebijakan tersebut dinilai anggota DPD-RI Prof. Dr. Muhammad Surya dan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Drs. Karnadi, MSi akan berdampak terhadap kesiapan siswa, guru dan sekolah dalam menghadapi UN. "Kebijakan Mendiknas Bambang Sudibyo memajukan jadwal ujian nasional dari Juni menjadi Mei dengan alasan sering ada unjukrasa sebagi alasan yang tidak mendasar dan pengecut. Apakah mendiknas sudah tahu pada bulan tersebut ada jadwal unjukrasa. Ini alasan yang dibuat-buat dan tidak logis," kata Muhammad Surya, Selasa. Karena itu, katanya, DPD-RI dalam sidang yang digelar Senin (8/1) kemarin telah sepakat dan mengagendakan untuk memanggil Mendiknas Bambang Sudibyo dan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni untuk minta penjelasan berkaitan pelaksanaan ujian nasional tersebut. Surya mengatakan, kalau pun pemerintah sudah memberitahukan jauh-jauh hari, itu tidak cukup sampai di situ saja. Sebab, bagi para pelaksana di lapangan, khususnya guru yang selama ini paling patuh dengan atasan pasti akan menyiapkan dan menyukseskan pelaksanaan ujian nasional. "Hal ini berdampak terhadap pencapaian target kurikulum yang harus habis diberikan kepada peserta didik. Hal inilah yang harusnya dihindari. Sebab, peserta didik mau tidak mau akan dijejali dengan materi bahan ajar dalam waktu yang lebih singkat dari semula," kata Surya juga Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI) itu. Ia mengatakan, siswa akhirnya mendapat beban yang berat karena mereka harus menyerap bahan ajar yang seharusnya diterima dalam satu tahun ajaran dalam waktu kurang dari satu tahun pelajaran. " Dari efek psikologis dan pedagogis hal ini jelas tidak benar dan melanggar hak anak. Ibarat orang makan, yang seharusnya sepiring, tapi ini sebakul, katanya. Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Karnadi mengatakan, pelaksanaan UN lebih awal sebenarnya tidak menjadi masalah apabila materi pelajaran yang diujikan dalam UN sudah diperoleh siswa. "Namun memang dalam kenyataannya selama ini semuanya dipaksakan. Bahan ajar yang belum diajarkan di sekolah, ternyata keluar juga dalam ujian nasional. Ini jelas tidak adil," katanya. Di sisi lain, guru yang selama ini patuh pada atasan dan terbiasa untuk "mengkarbit" siswanya dengan memberikan materi bahan ajar yang melebihi target kurikulum dengan bangganya memberikan materi-materi pelajaran kepada siswanya dengan kilat. Entah siswanya dapat menerima atau tidak itu urusan belakangan. "Hal ini melanggar paradigma pendidikan dan hak siswa untuk belajar seseuai target kurikulum. Sementara guru tidak mampu berbuat banyak dengan aturan selama ini. Guru seringkali hanya bisa pasrah dengan kebijakan pusat. Bahkan kalau dilihat dari aturan yang berlaku hal ini jelas pelanggaran," katanya. Namun demikian, Karnadi optimis dari sisi kesiapan pelaksanaan, diyakini sekolah atau guru siap melaksanakan. Sebab, mereka sudah berpengalaman menyelenggarakan ujian nasional.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007