"Kalau pemerintah kesulitan dalam hal memberlakukan peraturan yang legal untuk mencegah terjadinya kasus trafficking maka perlu memberlakukan hukum adat," katanya usai usai mengikuti seminar melawan Perdagangan orang berbasisi komunitas di NTT, di Kupang, Jumat.
Menurutnya hal ini perlu coba dilakukan mengingat masyarakat NTT adalah masyarakat yang sangat taat serta takut kepada hukum adat, khususnya di komunitas-komunitasnya.
Karena menurutnya, para korban sendiri sangat mengenal dengan baik para pelaku perekrutan. Dan kalau sanksi adatnya ketat bagi semua warga menurutnya akan membuat warga di salah satu desa tidak akan berani untuk keluar dari desanya sebelum meminta ijin kepada desa dan diurus secara adat.
"Ini bukan berarti bahwa saya melawan negara dengan tidak taat pada aturan perundang-undangan. Tetapi jika aturan udang-udang itu terlalu rumit dan masih banyak kasus human trafficking maka satu-satunya cara adalah memberlakukan hukum adat."
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh IRGSC sendiri, sampai 2014 ada sekitar ada sekitar 909 kasus "traficking" yang terjadi di NTT, dan dari 909 kasus tersebut 92 persennya adalah kaum wanita.
Disamping kasus "trafficking" dalam penelitian yang dilakukan oleh lembaga ini, indikasi eksploitasi yang masuk dalam kategori "trafficking" mencapai 605 orang.
"Tetapi sampai saat ini yang beritakan hanya ada 15 orang yang dinyatakan hilang akibat penculikan untuk kasus-kasus trafficking dan lagi-lagi hampir didominasi oleh perempuan," tambahnya.
Elcid sendiri memprihatinkan hal ini, karena di kampung-kampung tradisi patriaki itu masih sangat kuat. Sehingga yang menjadi buruh dan mencari pekerjaan itu adalah kaum perempuan.
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015