Jakarta (ANTARA News) - Pasokan non-alat utama sistem senjata (alutsista) dari Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2001 masih mengalami penurunan hingga 28,81 persen, demikian Deplu. "Penurunan tersebut dikarenakan krisis yang melanda badan dunia itu, ketatnya persaingan dan maraknya mafia perdagangan produk tersebut," kata Direktur Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Departemen Luar Negeri (Deplu), Salman Al Farisi, kepada ANTARA News di Jakarta, Senin. Diungkapkannya, Indonesia pada 2001 memasok kebutuhan non-alutsista bagi PBB bernilai total 11,66 juta dolar AS, namun pada 2002 RI hanya bisa memasok kebutuhan senilai total 10,24 juta dolar AS, bahkan hingga 2005 nilainya terus merosot hingga senilai 8,3 juta dolar AS. Penurunan nilai itu, ungkap dia, karena PBB tengah menangani kasus korupsi yang terjadi di lembaga tersebut, sehingga semua tender yang telah disepakati termasuk dari Indonesia terpaksa dibatalkan. Ia mengatakan, pada 2006 Pemerintah RI telah kembali bernegosiasi dengan PBB untuk melanjutkan kembali tender yang pernah dibatalkan pada 2005. "Ini masih kami proses dan negosiasikan kembali, sehingga pada 2007 diharapkan sudah dapat kembali memasok kebutuhan non-alutsista bagi sejumlah badan-badan internasional di bawah PBB," ujarnya. Berdasar data Deplu RI, Indonesia termasuk sepuluh negara pemasok utama kebutuhan non-alutsista ke PBB, selain Amerika Serikat (AS), India, Belgia dan Afganistan. PBB merupakan pangsa pasar utama kebutuhan non-alutsista Indonesia, terutama untuk mendukung operasi pemeliharaan perdamaian PBB. Salman menyatakan, pangsa pasar kebutuhan non-alutsista selain PBB yang dimiliki Indonesia, antara lain Brunei Darussalam, Oman, Uni Emirat Arab dan Jerman. "Permintaan yang dominan adalah seragam militer. Ke depan akan kita coba pasok kebutuhan makanan berlabel halal bagi militer negara-negara Islam," demikian Salman. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007