"Kesulitan terjadi, mengingat beberapa hal masih perlu diperhatikan. Pertama, suplai bahan baku tersebut harus dipastikan betul-betul aman," kata Wakil Presiden PT Delta Prima Steel Haykel Hubies di Jakarta, Rabu.
Kedua, lanjut Haykel, spesifikasi hasil tambang tersebut harus sesuai dengan kebutuhan pabrik, dan terakhir adalah soal penanganan limbah dari hasil penambangan yang dilakukan tersebut perlu diperhatikan.
Tiga hal tersebut, lanjut Haykel, perlu diatur dengan jelas oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, sementara Kementerian Perindustrian mengatur dari segi pengolahan dan pemurniannya.
"Kami minta Kemenperin mengomunikasikan hal-hal ini dengan kementerian terkait, sehingga pasokan bahan baku tersebut tidak lagi menjadi hambatan," ujar Haykel.
Menurutnya, pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur pelarangan ekspor mineral mentah seharusnya membuat kinerja smelter semakin meningkat, namun pada kenyataannya hal tersebut belum terjadi.
"Sebelum ada aturan itu, semua hasil tambang diekspor tanpa memperhatikan spesifikasinya. Dengan adanya aturan ini, dibutuhkan aktivitas penambangan yang jauh lebih baik, sehingga bahan baku yang dihasilkan juga sesuai dengan keinginan," kata Haykel.
Menurut Haykel, dari 14 perusahaan smelter di Indonesia, 4 di antaranya saat ini kekurangan bahan baku hasil tambang, yang akan mengakibatkan penurunan produksi dan pendapatan.
Misalnya, Haykel mencontohkan, perusahaan tempatnya bekerja yang sejak 2014 beroperasi dengan nilai investasi 40 juta dollar AS dan kapasitas produksi mencapai 100 ribu ton sponge iron per tahun, saat ini utilisasinya hanya 50 persen.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015