Masyarakat cenderung memaknai bencana sebagai bentuk kemarahan Tuhan. Tidak boleh ada pikiran bencana adalah hasil maksiat,"

Jakarta (ANTARA News) - Muhammadiyah pada Rabu meluncurkan buku Fikih Kebencanaan yang berisi tentang panduan keagamaan soal bencana, baik untuk pencegahan atau penanggulangannya.

"Masyarakat cenderung memaknai bencana sebagai bentuk kemarahan Tuhan. Tidak boleh ada pikiran bencana adalah hasil maksiat," kata salah satu penulis buku Fikih Kebencanaan Ustad Hamzah di Jakarta, Rabu.

Hamzah mengatakan perspektif Islam tidak memandang bencana selalu sebagai azab Tuhan. Maka dari itu, penting untuk direnungkan lebih jauh agar setiap kejadian dapat dipahami dan disikapi secara proporsional.

Lebih lanjut, perlu paradigma yang bijak dalam menyikapi bencana.

"Muhammadiyah berpandangan dalam Islam dikenal juga sifat maha pengasih, maha penyayang, maha adil dan maha bijaksana. Bencana adalah ladang untuk introspeksi atau mengoreksi diri sendiri," kata dia.

Maka dari itu, kata dia, bencana perlu ditangani. Untuk itu, perlu ada pemahaman tentang sebab bencana dan peran manusia dalam mengatasi, kemudian dilanjutkan hingga tindakan praktis yang meliputi mitigasi, persiapan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana.

Terdapat juga hak-hak korban yang wajib dipenuhi setelah bencana terjadi maupun bagi masyarakat yang berpotensi menjadi korban bencana.

Bantuan bencana, kata dia, tidak boleh diberikan ala kadarnya dan atau asal-asalan. Tetapi harus ada kerangka minimal yang ditetapkan. Korban bencana adalah tanggung jawab pihak lain yang lebih mampu.

Lewat fikih kebencanaan dijelaskan juga tentang masalah-masalah ibadah dalam kondisi darurat dan bagaimana tata cara pelaksanaannya.

"Fikih umumnya dimaknai seperangkat ketentuan hukum Islam yang diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu nilai dasar, prinsip umum dan peraturan hukum yang bersifat konkrit," katanya. *

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015