Jakarta (ANTARA News) - Bagai petir siang bolong, tiba-tiba saja meluncur usulan revisi Undang-undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masuk ke dalam Proyeksi Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 saat rapat antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly dan Komisi III DPR yang mengurus soal hukum.
"UU ini sudah masuk dalam long-list Prolegnas 2015-2019 sebagai inisiatif DPR dan perlu didorong untuk dimajukan sebagai prioritas 2015," kata Yasonna dalam rapat pada 16 Juni 2015.
Artinya revisi UU KPK itu dimajukan ke masa sidang DPR pada Agustus 2015, padahal UU tersebut awalnya tidak masuk ke dalam pembahasan UU yang akan dibahas pada tahun ini.
Menurut Yasona sedikitnya ada lima hal yang perlu diperbaiki dalam UU tersebut yaitu (1) kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses "pro-justisia", (2) peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung, (3) terkait perlu dibentuknya Dewan Pengawas, (4) mengenai pengaturan terkait pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan (5) penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.
Kontan saja hal itu menimbulkan beragam respon dari berbagai pihak.
Respon KPK
Usulan revisi UU yang tak diantisipasi KPK itu pun dinilai dapat mengkerdilkan kewenangan KPK, apalagi melihat sejumlah poin yang akan "diperbaiki".
"Tampaknya justru akan melemahkan bahkan mengkerdilkan atau mereduksi kewenangan KPK, misalnya penyadapan," kata pelaksana tugas (plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji.
Secara khusus Indriyanto menyoroti mengenai rencana untuk mengatur penyadapan dalam UU KPK. Penyadapan sendiri belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acra Pidana (KUHAP) No 8 tahun 1981, tapi sudah masuk dalam UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai kewenangann penyidik.
"Perlu diketahui, dan hal ini juga tidak dipahami penegak hukum lainnya) bahwa sesuai pasal 26 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun penjelasannya, sejak proses penyelidikan/penyidikan/penuntutan, penegak hukum diperkenankan melakukan penyadapan/wiretapping," ungkap Indriyanto.
Namun memang hanya KPK saja yang memasukkan kewenangan penyadapan di dalam UU-nya.
"Bila hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses justitia justru tindakan wiretapping ataupun surveillance itu menjadi bagian dari tahap penyelidikan yang non- projustisia, artinya secara contrario, penyadapan pada tahap projustisia sama sekali sudah tidak memiliki nilai lagi," tegas Indriyanto.
Bahkan dengan demikian akan dapat meniadakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang biasa dilakukan oleh KPK.
"Konsep demikian justru akan meniadakan wewenang OTT," ungkap Indriyanto.
Sedangkan Plt Ketua Taufiequrrachman Ruki menilai ada hal lain yang lebih mendesak untuk direvisi dibanding lima butir usulan pemerintah itu.
"Yang paling penting apapun itu, substansinya tidak boleh memperlemah KPK. Yang mendesak untuk segera direvisi pada tahun ini adalah tentang pemberian kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik sendiri, di luar penyidik yang berasal dari Polri dan Kejaksaan," kata Ruki.
Usulan Ruki kedua adalah meningkatkan peran, fungsi, status dan struktur Penasihat KPK, menjadi Komite Pengawas KPK yang bertugas untuk mengawasi pelasanaan tugas KPK, menasihati dan memberi saran kepada Pimpinan KPK.
"Kemudian memberi izin penghentian penyidikan kepada KPK, dan memeriksa pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK," tambah Ruki.
Padahal berdasarkan pasal 40 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK, KPK dinyatakan tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
"Dulu dalam konsep awal UU tentang KPK, pimpinan KPK tidak boleh menghentikan penyidikan dalam hal demi hukum terpaksa juga harus dihentikan maka harus dengan seizin penasihat KPK, tentu dengan prosedur khusus," jelas Ruki.
Sedangkan Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan bahwa revisi tersebut harusnya dilakukan setelah ada harmonisasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Sebenarnya kami kalau dimintai pendapat mengenai revisi UU KPK, sebaiknya dilakukan lebih dulu sinkronisasi terhadap UU yang lain seperti KUHP, KUHAP dan UU No 31/1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 didahulukan baru bicara revisi UU No 30/2002 tentang KPK, itu yang kami sampaikan tadi ke Komisi III," kata Johan.
Respon Legislatif
Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan menjelaskan revisi UU KPK dilakukan karena peraturan tersebut tidak sesuai dengan kondisi terkini sehingga diperlukan langkah perbaikan.
"Semangat DPR dan pemerintah sama dalam UU KPK yaitu tidak sesuai kondisi terkini. Diambil ruhnya ke sana," kata Taufik.
Taufik mengungkapkan revisi UU KPK jangan dikaitkan dengan hal-hal khusus namun terkait hal normatif yaitu bahwa UU KPK sudah empat tahun direncanakan direvisi untuk mengikuti perkembangan situasi dan kondisi di lapangan.
"Apabila ada perkembangan situasi dan kondisi di lapangan selalu harus disesuaikan dan direvisi," ujar Taurfik.
Komisi III pun meminta agar KPK memberikan masukan rinci terkait revisi itu.
"Komisi III DPR RI meminta KPK memberikan masukan yang lebih rinci dan komprehensif sehubungan dengan rencana perubahan UU no 30 tahun 2002 tentang KPK," kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman saat membacakan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan KPK pada 18 Juni 2015.
Komisi III DPR RI mendesak KPK menyusun dan mematuhi Standard Operational Procedure (SOP) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
"Serta melakukan peningkatan dan pengawasan internal untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan," tambah Benny.
Desakan lain adalah agar KPK menyusun sistem pencegahan korupsi yang lebih terukur dan sistematis di seluruh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.
Padahal dalam rapat itu Ruki menyatakan bahwa KPK tidak menyetujui revisi yang dimaksudkan untuk melemahkan institusi tersebut.
"Apapun pasal dan bunyinya jika bermaksud melemahkan pemberantasan korupsi maka kami tidak akan setuju," kata Ruki, alasannya karena KPK belum pernah diajak bicara mengenai rincian rencana revisi UU KPK tersebut.
Sedangkan Ketua DPR Setya Novanto mengakui bahwa DPR ingin memperkuat KPK
"Jelas DPR hanya ingin memperkuat KPK dan ini kita butuhkan sekali," kata Setya Novanto di sela-sela acara buka puasa bersama dengan Presiden di Istana Negara.
Namun ia masih menunggu proses komunikasi antara Badan Legislasi DPR dan pemerintah.
"Kami serahkan semuanya kepada pihak Baleg DPR RI dan pemerintah. Kita lihat perkembangannya nanti. Semuanya saya harapkan sabar menunggu dan (berharap) semuanya berjalan sebaik-baiknya," tambah Setya.
Respon Eksekutif
Pemerintah sebagai eksekutor undang-undang pun menyampaikan sejumlah komentar, salah satunya adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menilai revisi UU KPK tersebut tidak berarti memperlemah KPK dan bahkan diperlukan agar kewenangan pimpinan KPK tidak bersifat mutlak.
"Revisi itu tergantung apanya yang dianggap perlu dan direvisi tidak berarti memperlemah. Itu bisa berarti memperkuat. Suatu kewenangan memang harus ada batasnya, bukan berarti KPK punya kekuasaan yang tidak ada batasannya, tidak bisa ada kekuatan yang mutlak," ungkap Kalla.
Salah satu hal yang disorot Wapres adalah pengaturan mengenai penyadapan.
"(Penyadapan) Itu bukan dikurangi, tetapi diperketat aturannya. Jangan sampai ada orang sedang bicara dengan pacarnya lalu disadap," tambah Kalla.
Namun Presiden Joko Widodo akhirnya dengan tegas menolak revisi UU KPK pada 19 Juni 2015 karena bukan termasuk prioritas pembahasan undang-undang.
"Presiden menyatakan menolak rencana dan usulan revisi undang-undang KPK, begitu," kata Ruki seusai mengikuti rapat terbatas di Istana bersama Presiden Jokowi, sejumlah menteri, kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kapolri serta Jaksa Agung.
""Presiden menyatakan menolak rencana dan usulan revisi UU KPK, begitu. Sebetulnya (UU KPK masuk) prolegnas 2016, bukan 2015, tidak tahu kenapa ada percepatan. Tapi yang jelas Presiden menolak," ungkap Ruki.
Dengan adanya penolakan itu maka DPR akan kesulitan untuk membahas revisi UU KPK.
"Revisi terhadap UU KPK dilakukan setelah sinkronisasi semuanya, tidak boleh duluan, dan kita minta itu, dan itu kemudian disambut oleh Presiden," jelas Ruki.
Sinkronisasi yang dimaksudkan adalah harmonisasi antara KUHP, KUHAP, maupun UU No 6 tahun 2007 tentang ratifikasi atas United Nation Convention Agains Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi.
Siapa yang Diuntungkan?
Namun entah bagaimana komunikasi antara pemerintah dan Baleg DPR, pada rapat Paripurna DPR 23 Juni 2015, UU No 30 tahun 2002 tentang KPK resmi masuk dalam Prolegnas 2015. Tidak ada satu pun fraksi yang menolak Revisi UU KPK.
"RUU tentang perubahan atas UU no 30 tahun 2002 tentang KPK disetujui menggantikan RUU tentang perubahan UU no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, selanjutnya diusulkan dalam prolegnas prioritas 2016," kata ketua Baleg DPR Sareh Wiyono di Gedung Nusantara II.
Sareh Wiyono adalah politisi Partai Gerindra yang merupakan mantan Ketua Pengadilan Tingi Jawa Barat. Sareh pernah tersangkut kasus korupsi yang ditangani KPK pada pertengahan 2014 lalu yaitu kasus dugaan korupsi terkait penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung yaitu diduga mengarahkan Plt Ketua PT Jawa Barat Kristi Purnamiwulan dalam menentukan anggota majelis hakim di tingkat PT dalam perkara korupsi Bansos yang menyeret mantan Walikota Bandung Dada Rosada.
Dalam dakwaan, Sareh disebut meminta Rp1,5 miliar kepada Dada Rosada melalui kepala Pengadilan Negeri Bandung saat itu hakim Setyabudi yang disampaikan kepada asisten Dada, Toto Hutagalung. Kristi kemudian menetapkan Majelis Hakim Banding perkara ini yang terdiri dari Pasti Serefina Sinaga, Fontian Munzil, dan Wiwik Widjiastuti. Dalam perkara ini, Dada Rosada, Toto Hutagalung dan Pasti Serefinna Sinaga sudah divonis.
Menurut Sareh, pada awalnya Baleg DPR belum dapat menyetujui karena UU KPK sudah masuk dalam Prolegnas 2015-2019 dengan nomor urut 63 terlalu mendesak. Namun pemerintah diwakil Menkumham, berkomitmen melakukan perubahan KPK dengan beberapa alasan kegentingan.
"Kewenangan penyadapan dengan pelanggaran HAM, penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan, perlunya dibentuk dewan pengawas mengenai pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan penguatan pengaturan kolektif kolegial," ungkap Sareh.
Menurut Sareh, karena pemerintah akan memasukkan RUU perubahan UU KPK ke dalam prolegnas 2015, akhirnya Baleg dapat menyetujui usulan tersebut. Baleg pun meminta pemerintah untuk tidak menarik kembali usulan RUU tersebut karena penambahan atau pengganti RUU prioritas harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.
Usaha merevisi UU KPK pun bukan yang pertama namun sudah pernah dilakukan pada 2012 lalu, dengan substansi yang serupa pula. Namun pada 2012, seluruh fraksi di DPR menyatakan menolak Revisi UUKPK. Kondisi ini berbanding terbalik dengan saat ini ketika seluruh fraksi setuju melakukan revisi UU KPK.
Anehnya, Menkumham Yasonna Laoly malah menilai bahwa revisi UU KPK tetap tidak bisa dilakukan tanpa restu Presiden, yang jelas-jelas sudah menolak revisi tersebut.
"Dalam UUD 1945, UU dibahas bersama DPR dan presiden. Dalam pasal 21, DPR mempunyai hak insiiatif mengajukan rencana UU, kalau DPR mau mengajukan maka haknya sah, itu konstitusional. Apalagi dalam UUD pasca amandemen, DPR punya hak kekuasaan membentuk UU, tapi harus dibahas dengan presiden. Kalau presiden menolak, ya gak jalan dong. Gak bisa," kata Yasonna pada 25 Juni 2015.
Menurut Yasonna, proses perjalanan untuk menghasilkan revisi UU KPK masih panjang.
"Jadi nanti setelah prolegnas DPR akan membentuk badan kelengkapan DPR yang bahas, apakah Baleg atau komisi 3, nanti mereka bikin draft. Prosesnya harus pergi ke daerah, dengar masukan pakar. Ini Belanda masih jauh ceritanya. Prolegnas kan daftar keinginan DPR mengajukan revisi. Naskah akademik belum ada apalagi pasal-pasalnya. Nanti kalau memang DPR ngotot mengajuin revisi, ya silakan saja" ungkap Yasonna.
Selanjutnya pada 26 Juni 2015, giliran Sareh yang sedikit mengoreksi pernyataannya tentang UU KPK.
"Kalau (pemerintah) mau menolak (revisi UU KPK) ya biarkan saja. Kami tidak terlalu (ingin revisi UU KPK), toh yang mau pe6erintah," kata Sareh pada Jumat (27/6).
Sareh menilai pemerintah masih perpikir apakah hanya merevisi atau mengganti UU KPK tersebut. Apapun itu menurut Saleh, Baleg tidak mengejar waktu revisi UU KPK.
"Mungkin pemerintah masih ada berpikir-pikir apa yang seharusnya dilakukan, apakah revisi atau mengganti atau bagaimana kelanjutan UU KPK itu," tambah Saleh.
Koalisi Masyarakat Antikorupsi menduga ada konflik kepentingan di balik dukungan seluruh anggota dewan tersebut.
Data KPK sejak 2004-2015 menunjukkkan ada 76 politisi Senayan yang telah dijerat KPK. Tuduhan DPR yang menyebut adanya "abuse of power" di KPK sebagai pembenaran pentingnya revisi UU KPK tidak didukung oleh bukti yang kuat. Demikian pula,tidak ada kondisi darurat yang menjadi dasar dimasukkannya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015.
"Upaya politisi Senayan untuk mempercepat revisi UU KPK patut dicurigai sebagai upaya penyelematan diri dan balas dendam mengingat sejumlah elit partai pernah dijerat dan menjadi terpidana korupsi dari penyadapan KPK serta tuntutan hukum yang tinggi dari jaksa penuntut KPK. Dalam catatan ICW sedikitnya 11 politisi Senayan dan parlemen daerah terjerat dalam perkara korupsi yang terungkap dari proses penyadapan KPK," kata Koordinator Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho.
Presiden dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menarik diri terlibat dalam pembahasan revisi UU KPK bersama dengan DPR berdasarkan pasal 49 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan terhadap RUU Inisiatif DPR maka Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
"Berdasarkan ketentuan itu, jika dalam jangka waktu tersebut Presiden tidak menugasi menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Revisi UU KPK, maka pembahasan tidak dapat dilakukan oleh DPR, dengan demikian proses pembahasan revisi UU KPK yang tidak dihadiri oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai cacat hukum," tegas Emerson.
Akhirnya dibutuhkan niat kuat dan luar biasa dari Presiden, para menteri, anggota legislatif dan juga masyarakat untuk memperkuat pemberantasan korupsi dalam hal ini memperkuat juga KPK sebagai ujung tombak perang melawan korupsi.
Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015