"Ada tiga kegiatan utama ACMI, di antaranya secara rutin mengadakan 'potluck' bersama anak-anak muda, 'culinary sharing' dengan mempelajari sejarah dan keunikan bahan-bahan asli masakan Indonesia, dan secara aktif melakukan culinary diplomacy ke luar negeri untuk mempromosikan kuliner Indonesia," ujar Santhi, salah seorang pendiri ACMI dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu.
Santhi menyatakan, kelemahan dalam promosi kuliner Indonesia ke dunia internasional paling sering adalah tampilannya yang kurang menarik. Sejak lima tahun terakhir Kementerian Pariwisata mengunggulkan tumpeng sebagai ikon kuliner Indonesia, dengan 30 jenis masakan lainnya mengelilinginya. Kuliner sebagai salah satu bentuk industri kreatif tentunya mesti diperjuangkan oleh pemerintah.
Salah satu yang menjadi keprihatinan Santhi adalah persoalan buruknya keamanan pangan (food safety), khususnya di kalangan pedagang kaki lima (PKL).
"Banyak aspek terkait di dalamnya, mulai dari infrastruktur penyediaan air yang tidak higienis, pengetahuan (knowledge) tentang handling masakan yang tidak sehat, ataupun penggunaan bahan berbahaya yang tidak semestinya digunakan untuk makanan," katanya.
Di sisi diversifikasi pangan, Santhi menunjukkan bahwa Indonesia sebetulnya beragam dalam kekayaan bahan makan karbo. Di Papua, masyarakat yang biasanya makan sagu sekarang didorong untuk makan beras. Di banyak daerah, masyarakat sehari-harinya tidak mengonsumsi beras, tetapi ketela, umbi-umbian dan sebagainya.
Pada kesempatan tersebut Santhi hadir bersama sejumlah pegiat kuliner menghadiri Kafe Solidaritas yang diselenggarakan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Pondok Indah Mall Jakarta, Jumat (26/6).
Tampak hadir Riyani Djangkaru, mantan presenter acara petualang di televisi yang sekarang aktif mengkampanyekan pelestarian ikan hiu (Save Shark Indonesia), dan Sigit Kusumawijaya, inisiator komunitas Indonesia Berkebun.
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015