Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat menyebutkan, pihaknya juga mendesak Presiden Jokowi tidak menunjuk wakil pemerintah dalam proses pembahasan revisi UU KPK dengan DPR.
Ia memaparkan, usaha merevisi UU KPK bukan baru satu kali terjadi, karena pada 2012, hal yang sama dengan substansi yang serupa pula, pernah diusulkan untuk dibahas di DPR.
Pada 2012, seluruh fraksi di DPR menyatakan menolak Revisi UU KPK.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan 2015 yakni seluruh fraksi setuju melakukan revisi UU KPK.
ICW menyorot secara garis besar ada lima isu krusial yang akan dimasukkan oleh DPR dalam naskah revisi UU KPK yaitu pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan "kolektif-kolegial", dan pengaturan terkait Plt Pimpinan KPK jika berhalangan hadir.
Menurut dia, posisi DPR yang setuju mempercepat pembahasan revisi UU KPK pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dengan alasan untuk memperkuat KPK tidak dapat diterima karena poin krusial yang akan diubah justru saat ini menjadi jantung kekuatan KPK.
"Keputusan ini telah memperburuk citra DPR di mata publik karena pada saat yang bersamaan DPR telah mendukung dana aspirasi sebesar Rp20 miliar per anggota," katanya.
ICW mengemukakan, patut diduga ada konflik kepentingan yang besar dibalik dukungan seluruh dewan yang hadir dalam rapat paripurna tersebut.
LSM itu juga memaparkan, data KPK sejak 2004 hingga saat ini menyebutkan ada 76 politisi dari Senayan yang telah dijerat oleh KPK karena terlibat korupsi.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015