Jakarta (ANTARA News) - Laporan terbaru Bank Pembangunan Asia (ADB) mengingatkan pasar obligasi negara berkembang Asia Timur masih rentan terhadap risiko permasalahan utang Yunani yang berlarut-larut dan potensi penyesuaian suku bunga acuan dari Bank Sentral AS (The Fed).
"Likuiditas yang rendah dari pasar obligasi kawasan bisa memburuk akibat potensi outflow yang bisa menyebabkan kerentanan," kata Kepala Ekonom ADB Shang-Jin Wei dalam rilis laporan terbaru "Asia Bond Monitor" yang diterima di Jakarta, Selasa.
Wei menambahkan untuk mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pasar keuangan yang diiringi dengan beberapa peraturan yang prudent untuk meningkatkan ketahanan dalam menghadapi tekanan eksternal tersebut.
Laporan itu mengingatkan ketika negara berkembang Asia Timur ingin memperluas pasar obligasi, ada risiko global yang justru bisa menahan likuiditas, seperti rencana penyesuaian suku bunga The Fed yang saat ini membuat dolar AS menguat dimana-mana dan berpotensi meningkatkan porsi utang dalam mata uang lokal.
Meskipun menghadapi sejumlah risiko dalam tiga bulan pertama 2015, porsi obligasi dalam mata uang lokal di kawasan Asia Timur telah mencapai 8,3 triliun dolar AS, atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 8,2 triliun dolar AS.
Sementara, sejumlah mata uang di kawasan mengalami depresiasi terhadap dolar AS mulai Maret hingga minggu pertama Juni 2015, dengan mata uang Thailand dan Indonesia yang mengalami perlemahan terdalam masing-masing 4,8 persen dan 2,5 persen.
Kepemilikan asing di wilayah ini juga cenderung optimis, meskipun ada penguatan dolar AS. Saat ini, kawasan Asia Timur memiliki akumulasi outstanding utang dalam mata uang asing hingga 858 miliar dolar AS hingga akhir April.
Peningkatan imbal hasil surat utang AS dan Eropa serta turunnya harga minyak dunia, meningkatkan tekanan terhadap imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahun di negara berkembang Asia Timur, dengan dampak terbesar di obligasi Indonesia dengan kenaikan 145 basis poin (bps).
Kenaikan imbal hasil di obligasi dengan tenor 10 tahun Indonesia didukung oleh ekspektasi laju inflasi dari reformasi subsidi BBM. Di negara lain seperti Singapura, Thailand dan Filipina kenaikannya masing-masing hanya 42 bps, 37 bps dan 34 bps.
Secara keseluruhan, kenaikan imbal hasil merupakan refleksi dari kekhawatiran atas rencana penyesuaian suku bunga The Fed. Pasar juga merespon kenaikan inflasi dari penyesuaian harga minyak dan pengalihan subsidi energi.
Outstanding pasar obligasi Indonesia pada triwulan I-2015 telah mencapai 125 miliar dolar AS, meningkat 6,5 persen dibandingkan triwulan sebelumnya dan 16,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sebagian besar peningkatan ini disumbangkan oleh penerbitan Surat Utang Negara.
Sementara, obligasi korporasi ikut meningkat 2,1 persen dibandingkan triwulan sebelumnya dan 4,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya hingga 17 miliar dolar AS, yang didominasi kepemilikan sektor perbankan dan finansial.
Laporan ini juga memperlihatkan pentingnya penerbitan obligasi dari perusahaan yang bergerak dalam energi terbarukan, yang telah meningkat dari 5,2 miliar dolar AS pada 2010 menjadi 18,3 miliar dolar AS pada 2014.
Kepemilikan obligasi jenis ini paling banyak terbanyak di Tiongkok yang menguasai 90 persen pasar obligasi sektor energi terbarukan. Penerbitan "green bonds" meningkat dua kali lipat sejak 2013 dengan total penerbitan pada 2014 mencapai 30,4 miliar dolar AS.
ADB mengapresiasi pentingnya pemanfaatan energi terbarukan dan melihat pemerintah akan memegang peran utama dalam formulasi serta implementasi kebijakan dalam pengembangan sektor energi hijau ini.
Perlunya dana yang memadai juga sangat penting untuk mewujudkan proyek energi terbarukan, untuk itu ketersediaan informasi bagi para pemberi dana sangat penting agar investasi dalam sektor ini makin meningkat.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015