Kami juga percaya bahwa ketika kami memperlakukan laut dengan tidak wajar maka bala bencana akan datang...
Kalau ingin merasakan serunya hidup dekat dengan laut, Torosiaje bisa menjadi pilihan tujuan. Warga perkampungan itu tinggal di rumah-rumah panggung di atas air yang terhubung oleh gang-gang selebar sekitar dua meter.
Perkampungan di ujung barat Provinsi Gorontalo yang pada 2007 dicanangkan sebagai desa wisata bahari itu berpenghuni 389 keluarga, sebagian besar bekerja sebagai nelayan tangkap sekaligus pembudidaya.
Butuh waktu sekitar tujuh jam dari Kota Gorontalo untuk menuju perkampungan di Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato itu.
Bila memilih transportasi umum, pengunjung bisa naik angkutan kota dari Terminal 42 di Kota Gorontalo dan naik angkutan menuju Popayato, yang akan mengantar penumpang sampai bagian darat Torosiaje. Dari sana pengunjung bisa menggunakan ojek perahu menuju perkampungan di atas air.
Setelah 10 menit naik perahu dari Torosiaje darat ke Torosiaje laut, tulisan "Welcome to Bajo" dan deretan rumah panggung menyambut pengunjung.
Hampir setiap warga memiliki jaring apung di kolong rumah untuk membudidayakan ikan kerapu macan dan ikan kue di perkampungan dengan keliling sekitar 3.000 meter itu.
Dan meski berada di atas air, perkampungan Torosiaje punya lapangan bulu tangkis, gedung taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama serta masjid.
Desa Wisata itu juga memiliki dua fasilitas penginapan dengan biaya sewa per kamar hanya Rp100 ribu per malam. Salah satu penginapan, yang ada di ujung kampung, milik pemerintah dan satu lagi milik warga setempat. Saat penginapan penuh, pengunjung juga bisa menginap di rumah warga.
Selama tinggal di Torosiaje, pengunjung bisa menyaksikan kehidupan sehari-hari warga kampung yang kebanyakan nelayan, serta lebih banyak mengandalkan genset untuk berbagai keperluan karena listrik sering padam dan seringkali harus mengangkut air dari darat menggunakan perahu karena aliran air dari Perusahaan Daerah Air Minum sering macet.
Kisah Torosiaje
Kepala Desa Torosiaje Jekson Sompah mengatakan Torosiaje sendiri berasal dari kata "toro", kata dalam Bahasa Suku Bajo yang berarti tanjung, dan "Si Aje" (si Haji), nama warga yang pertama kali mendiami wilayah itu.
Ia berkisah bahwa tahun 1901 baru ada empat unit rumah panggung milik Suku Bajo yang berdiri di perairan setempat, sementara warga lainnya masih tinggal di atas rumah perahu dan bepindah-pindah.
Sekitar tahun 1960-an, kepala desa setempat yang disebut "punggawa" memerintahkan warga yang masih tinggal di perahu untuk membangun rumah dan menetap di kawasan perairan tersebut.
"Suku Bajo memang dikenal sebagai petualang, suka berpindah-pindah dengan rumah perahunya. Hingga saat ini orang-orang tua mempercayai perairan ini auranya jernih, artinya nyaman dan aman untuk ditinggali anak cucu," ungkapnya.
Warga Torosiaje pernah mencoba hidup di darat. Pada tahun 1980 Dinas Sosial memindahkan 125 keluarga ke daratan yang kini dikenal dengan nama Desa Torosiaje Jaya dan memberi mereka lahan.
Namun karena kesulitan melakoni pekerjaan baru sebagian warga kemudian memutuskan kembali ke perkampungan di atas laut dan setia menjadi nelayan.
Kini Torosiaje tak hanya dihuni oleh Suku Bajo, tetapi juga suku lainnya seperti Gorontalo, Bugis, Mandar, Buton, Minahasa, Jawa, dan Madura yang mayoritas beragama Islam.
Tudingan Miring
Masyarakat Torosiaje kerap diterpa berbagai tudingan miring terkait dengan penangkapan ikan ilegal di perairan sekitarnya bahkan ke wilayah lain yang cukup jauh dari kampung mereka.
"Pernah ada warga kami yang ditembak mati karena menangkap ikan di perairan Sulawesi Tengah, tapi kronologisnya belum jelas bagi kami karena sudah lama warga Torosiaje tidak lagi mengebom ikan," ucap Jekson.
Ketua Adat Torosiaje Saang Pasandre kemudian mengenang saat suku Bajo merambah hutan bakau di sekitarnya untuk dijadikan bahan bangunan rumah panggung, kayu bakar hingga mengais sumber daya alam lainnya untuk bertahan hidup.
Ketika itu para nelayan masih melakukan pengeboman dan penangkapan ikan menggunakan obat bius dan pukat harimau.
"Tapi saat ini masyarakat Torosiaje sudah memiliki kesadaran bahwa alam juga berhak menuntut dilestarikan. Sekarang nelayan Bajo sebagian besar memancing untuk mendapatkan ikan, hanya sebagian saja yang menombak," ujarnya.
Sebagai orang-orang yang turun temurun hidup berkawan dengan laut, orang Bajo memiliki kearifan untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya.
Mereka punya beberapa pantangan selama melaut, antara lain tidak memakan daging penyu karena diyakini bisa mendatangkan badai atau musibah lainnya.
Orang-orang tua Bajo juga mempercayai adanya arwah penunggu beberapa lokasi terumbu karang sehingga mereka tidak berani mendekat, apalagi merusaknya.
"Kami juga percaya bahwa ketika kami memperlakukan laut dengan tidak wajar maka bala bencana akan datang berupa wabah penyakit maupun badai yang mengancam keselamatan jiwa. Kami harus melakukan upacara tolak bala sebagai bentuk permintaan maaf dan pertaubatan," demikian Saang Pasandre.
Oleh Debby Hariyanti Mano
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015