"Ya, saya rasa sosialisasinya yang memang harus kita kuatkan," kata Mensos di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan, kalau dilihat UU 23 tahun 2002 tentang adopsi anak sudah tua bahkan lengkap hingga ada revisinya pada 2014, lalu ada PP tahun 2007. Lalu ada juga peraturan Menteri Sosial pada 2009 dan dilengkapi dengan peraturan Dirjen Rehabilitasi Sosial.
"Jadi sudah berurut-urut dan berlapis-lapis peraturan perundangannya, tetapi kemungkinan sosialisasinya kurang komprehensif," tambah Mensos.
Lebih lanjut Mensos mengatakan, sosialisasi peraturan tersebut merupakan tugas semua seperti Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten termasuk aktivis anak.
"Saya rasa masih membutuhkan kerja keras lagi menyosialisasikan bagaimana regulasi pengangkatan anak ini lebih komprehensif sosialisasinya," katanya.
Dalam aturan adopsi anak, sudah jelas disebutkan bahwa harus melalui keputusan pengadilan sehingga memastikan perlindungan hukum bagi anak di masa depan.
Selain itu ada juga Tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak (PIPA) yang terdiri dari kepolisian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM bagi proses adopsi yang dilakukan Warga Negara Asing (WNA).
"Tapi tim itu baru terbentuk setelah ada permohonan Kemensos, baru dikirim pekerja sosial ke rumah calon orang tua angkat lakukan home visit dalam waktu enam bulan," jelasnya.
Baru Tim PIPA merekomendasikan lalu Kemensos mengeluarkan surat izin pada pengasuhan sementara enam bulan setelah itu ada home visit lagi. Peksos memberi laporan, jika pengadilan setuju baru diberi keputusan adopsi.
"Memang prosesnya panjang karena ini soal perlindungan hukum anak ke depan. Kalau ini dilonggarkan saya khawatir justru akan mendorong perdagangan anak," katanya.
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015