Jakarta (ANTARA News) - PT Pertamina mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini Badan Pengelola Hilir (BPH) Minyak dan Gas (Migas), agar menerapkan mekanisme "kartu kendali" dalam pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi agar sampai kepada yang berhak. "Selama ini mekanisme yang diterapkan adalah sistem terbuka, sehingga setiap orang bisa membeli BBM bersubsidi secara bebas yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan minyak tanah seperti bulan Desember 2006 lalu," kata Kepala Divisi Hubmas Pertamina, Toharso, di Jakarta, Jumat. Ia mengatakan sebenarnya untuk pendistribusian BBM bersubsidi sudah diatur mengenai alokasinya kepada pihak-pihak yang berhak saja. Ia mencontohkan minyak tanah bersubsidi dialokasikan hanya untuk pemakaian oleh rumah tangga, lampu penerangan, dan industri kecil rumah tangga yang mendapatkan ijin dari Departemen Perindustrian. Namun, lanjut Toharso, fakta yang terjadi di lapangan, minyak tanah bersubsidi digunakan juga oleh kalangan lain, seperti nelayan untuk menjalankan mesin perahu motornya, petani untuk menghidupkan mesin pompa air ketika musim kemarau, dan kalangan industri untuk mesin produksinya. "Inilah yang harus menjadi perhatian dari pemerintah, dan masyarakat juga harus tahu kalau kondisi itu yang menyebabkan kelangkaan minyak tanah terjadi. Janganlah asal menuduh Pertamina yang melakukan manipulasi atau kesengajaan, itu sama sekali tidak benar," tegas Toharso. Dikatakannya penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi oleh pihak yang tidak berhak itu karena perbedaan harga (disparitas) antara minyak tanah bersubsidi dan minyak solar bersubsidi, yakni Rp2.250 per liter untuk minyak tanah dan Rp4.300 per liter untuk minyak solar. "Walaupun sama-sama disubsidi, mereka membeli minyak tanah untuk dioplos dengan minyak solar karena harganya lebih murah dalam rangka menekan biaya produksinya sehingga terjadi kelangkaan minyak tanah," kata Toharso. Toharso mengatakan hal itu sebenarnya sudah dilarang baik oleh pemerintah maupun Pertamina, namun dalam hal ini sistem pengawasan nampaknya masih lemah. "Siapa yang bisa mengawasi kegiatan seluruh nelayan, petani, dan industri di Indonesia ini," katanya. Untuk itu, kata Toharso, sistem terbuka yang selama ini diterapkan harus diubah ke sistem tertutup dengan melakukan pengontrolan melalui "kartu kendali". Bila tidak diubah maka sudah dapat dipastikan akan terjadi lagi kelangkaan BBM bersubsidi di masyarakat karena ulah beberapa pihak yang tidak berhak. "Dengan adanya semacam `kartu kendali` itu, maka minyak tanah bersubsidi hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang berhak saja yakni kalangan rumah tangga, untuk lampu penerangan dan industri kecil rumah tangga. Itulah rencana yang sudah Pertamina sampaikan ke BPH Migas sebagai pengatur dan pengendali distribusi BBM bersubsidi dan Pertamina sebagai operatornya ," katanya. Sebelumnya, secara terpisah, Kepala BPH Migas Tubagus Haryono mengatakan, saat ini pihaknya tengah melakukan sensus untuk mendapatkan data sebenarnya berapa kebutuhan riil minyak tanah di masyarakat. "Kita melakukan sensus di seluruh Indonesia, tujuannya untuk mencari berapa kebutuhan riil sebenarnya minyak tanah yang dibutuhkan masyarakat," katanya. Terkait masalah sensus ini, ia mengatakan, selama ini data riil kebutuhan minyak tanah masyarakat Indonesia sebesar 3,75 liter per kepala keluarga. "Ini data riil yang ada pada kita, akan tetapi kelangkaan minyak itu terus terjadi, karenanya dilakukan sensus untuk mencari data sebenarnya," ujarnya. Apakah kelangkaan itu karena memang pasokan yang kurang, terjadinya lonjakan masyarakat atau minyak itu diselewengkan. "Kan aneh, minyak tanah disalurkan sesuai kebutuhan yang ada, masak terus menerus terjadi kelangkaan. Diharapkan dengan adanya pengawasan yang lebih ketat aksi pencurian dan penimbunan minyak tanah dapat ditekan sehingga kelangkaan tidak terjadi," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007