Humor ternyata bisa membuat pencetusnya masuk penjara.
Hal itu dialami penulis buku humor Tri Agus Susanto Siswomiharjo.
Agus, yang paling terkenal dengan buku "Mati Ketawa Cara Daripada Orde Baru", pernah ditangkap oleh kepolisian akibat banyolannya dianggap menyinggung Presiden Soeharto yang saat itu berkuasa.
"Saya ditangkap tanggal 9 Februari 1995 dengan sangkaan pasal 134 KUHP, penghinaan terhadap presiden," ujar dia.
Dasar bermental pengocok perut, Agus tetap saja "membandel" dengan membuat sebuah pledoi yang cenderung "nyeleneh".
Dalam pembacaan pembelaan tersebut, dia mengajak orang-orang yang tidak berani menentang orang nomor satu Republik ini untuk datang berbondong-bondong ke dalam pertandingan klub sepak bola Medan Jaya.
"Bagi yang tidak berani menentang presiden secara langsung seperti saya, dalam pledoi itu saya sarankan untuk menonton pertandingan Medan Jaya, yang punya pemain bernama Soeharto. Nah, di sana semua bebas meluapkan kebencian dan ketidaksukaan tanpa dihalang-halangi," ujarnya lalu tertawa.
Rentang tahun 1980-1990-an lahir banyak celetukan-celetukan humor yang menyindir penguasa otoriter.
Dimulai tahun 1986 dengan "Mati Ketawa Cara Rusia" karangan Zhanna Dolgopolova, yang kata pengantarnya ditulis oleh KH Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur.
Di dalam kata pengantar yang cukup panjang itu Gus Dur mengatakan "rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan".
"Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat."
Dalam kutipan di atas, kyai eksentrik yang sangat doyan melempar candaan itu mengulang dua kata, yaitu kepahitan dan kesengsaraan. Memang, keadaan rakyat di tahun-tahun itu dikekang oleh pemerintah represif.
Kebebasan berpendapat dipasung, setiap kata yang dipublikasi harus seizin rezim. Mereka yang berpendapat tidak segaris dengan pemerintah dianggap makar dan dikenakan delik pidana, sementara media penentang pasti dibredel.
"Tetapi, semakin banyak media yang dilarang terbit, semakin banyak pula teman-teman yang mengoleksi humor-humor yang beredar di masyarakat dan mulai membuat media-media alternatif," kata Agus.
Bentuk perlawanan dengan tawa pun semakin berkembang karena dibawa dalam diskusi-diskusi, pertemuan-pertemuan dan membuat masyarakat semakin mengetahui bahwa ternyata penguasa yang pengekang itu bisa ditertawakan. Ini yang disebut Agus kegiatan mempropagandakan perlawanan dengan cara sederhana, bercanda.
"Humor memang tidak bisa meruntuhkan rezim, tetapi dengan humor masyarakat bisa mengetahui siapa musuh bersama mereka," ujarnya."Humor adalah sesuatu yang serius."
Agus pun menceritakan sebuah lawakan dari Gus Dur yang diungkapkan pada tahun 1992 tentang Soeharto dengan tukang cukurnya. Begini kisahnya.
Alkisah latar belakang cerita ini adalah menjelang suksesi kepemimpinan. Soeharto yang datang ke tukang cukur setiap tiga bulan untuk merapikan penampilan, tidak disangka dia mendapat pertanyaan yang mengejutkan oleh si tukang potong rambut.
"Bagaimana, Pak, apakah sudah ada penggantinya belum?" tanya si tukang cukur.
"Belum," jawab Soeharto sekenanya sembari melanjutkan pembicaraan ringan.
Tiga bulan kemudian, Soeharto kembali bercukur dan mendapatkan pertanyaan yang sama. Hal ini terus berulang ketika Soeharto mencukur rambutnya dan akhirnya membuat pemimpin itu berang.
"Kamu ini bagaimana, setiap saya bercukur, kamu terus menanyakan pengganti saya. Apa kamu tidak suka dengan saya?" tanya Soeharto kesal.
"Bukan begitu, Pak," jawab si tukang cukur pelan. "Soalnya kalau saya tanya tentang pengganti itu, bulu kuduk bapak selalu berdiri dan memudahkan saya memotongnya," kata tukang tersebut polos.
Memberedel media mengekang humor
Pengekangan media dengan memberedel, menurut penulis sekaligus wartawan senior Yusi Avianto Pareanom, membuat lelucon-lelucon yang berhubungan dengan agama dan suku mengalami penurunan intensitas.
Humor tentang agama dan suku di masa kini, ujar Yusi, menjadi sesuatu yang sensitif dan mudah menyinggung banyak orang.
"Di masa Orde Baru Soeharto dulu banyak humor yang berkembang, termasuk canda terkait agama dan suku. Namun saat ini tidak banyak lagi terutama sejak peristiwa Tabloid Monitor," kata penulis kumpulan cerpen "Rumah Kopi Singa Tertawa" ini.
Tabloid Monitor, dalam terbitannya tanggal 15 Oktober 1990 memuat hasil "jajak pendapat" independen tentang tokoh paling dikagumi oleh para pembaca mereka dan membuat marah penganut Islam di Indonesia.
"Kasus inilah jadi salah satu faktor utama berkurangnya humor yang menyangkut tentang agama," tutur Yusi.
Selain itu, Yusi menambahkan, ada juga kecenderungan rakyat tidak lagi berani melontarkan humor bernada suku kepada orang lain.
"Kalau menyindir sukunya sendiri banyak, seperti di stand up comedy. Namun melontarkan candaan tentang suku orang lain sudah tidak biasa lagi digunakan di masa kini," tuturnya.
Merujuk ke masa kini, Yus menilai orang Indonesia tidak lagi terlalu percaya dengan kata-kata yang bisa membuat orang lain tertawa, harus didukung dengan visualisasi gambar.
"Rakyat tidak lagi terbiasa dengan tulisan-tulisan satir," katanya.
Sementara itu Tri Agus Susanto Siswomiharjo menganggap pada dasarnya humor di masa kini dan masa lalu sama, hanya modernitas membawanya menjadi berbeda dalam sarana penyampaian.
"Kalau zaman dahulu memang berbeda karena lelucon disampaikan melalui cerita yang disajikan dalam bentuk narasi," kata Agus.
Masih dari sudut pandang Agus, humor bisa menjadi salah satu bentuk sosialisasi perlawanan terhadap kesewenang-wenangan rezim penguasa, selain melalui cara lain seperti teater.
"Humor adalah sarana yang paling ringan dan mudah diterima oleh semua orang," ujar dia.
Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015