"Saat ini orang mulai meragukan kemampuan, pengetahuan dan kesanggupan mendesain UU, dan menjalankan fungsi DPR lainnya, akhirnya anggota dewan ingin menyuap konstituennya dengan dana aspirasi," kata Benny di Jakarta, Selasa.
Menurut Benny, dengan adanya usulan dana aspirasi tersebut mempertegas lembaga DPR yang sudah kehilangan kredibilitas, kharisma dan integritasnya sebagai institusi perwakilan rakyat.
"Hilangnya itu semua karena kebanyakan dari mereka adalah orang yang belum selesai dan puas dengan dirinya. Hal ini berbahaya bagi masyarakat dan ini sudah terjadi perampokan uang rakyat," katanya.
Benny juga menilai masyarakat juga ikut andil dalam memilih para pemimpin dan anggota dewan yang hobi pencitraan, oleh karenanya dia menegaskan perlunya masyarakat sadar akan banyaknya politik transaksional dan kritis pada upaya pembangunan image calon pemimpin dan legislator.
Kita semua, kata Benny, harus mendorong masyarakat untuk lebih kritis sebelum memilih para wakil rakyat dan pemimpin bangsa serta tantangan untuk melakukan transparansi dalam melaporkan kinerjanya sampai akhirnya mereka yang hanya lebih mencari proyek daripada mendesain negara tidak ada kesempatan menggerakkan bangsa.
"Jika kita ingin mengubah ini kita harus memilih orang yang ingin melayani bukan orang yang ingin dilayani, agar tidak seperti ini di mana mereka mencari jabatan untuk mencari proyek bukan merancang desain kenegaraan," ujarnya.
Benny menambahkan penggunaan pasal 78 dan 80 huruf (J) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD oleh anggota dewan itu adalah siasat yang dimasukan seolah DPR bisa menganggarkan dana aspirasi dengan dalih untuk rakyat.
"Ini siasat agar DPR bisa menganggarkan dana yang kepentingannya tidak ada yang tahu untuk apa dan urgensinya, hanya dengan mengatasnamakan rakyat, padahal banyak masalah di situ," katanya.
Sementara itu, pengamat politik dari Indonesia institute for Development (Inded) Arif Susanto menilai pengusulan dana pembangunan daerah pemilihan sebesar Rp20 miliar untuk setiap anggota dewan adalah bentuk salah persepsi para legislator terhadap UU Nomor 17 Tahun 2003.
"Alasan yang digunakan anggota dewan tidak sesuai dengan fungsi dan tugas pokok anggota DPR untuk legislasi, pengawasan, anggaran dan aspirasi karena yang tertulis adalah mengusulkan bukan memasukan apalagi menganggarkan," ujar Arif.
Dia menambahkan jika usulan dana aspirasi ini terealisasi maka akan terjadi tumpang tindih kebijakan pembangunan antara badan legislatif dan eksekutif, adanya praktik percaloan proyek dengan lobi-lobi tidak sehat serta akan menimbulkan kesenjangan yang semakin di setiap daerah.
"Nanti efeknya akan tumpang tindih kebijakan, tidak akan ada pemerataan pembangunan karena anggota dewan di semua daerah jumlahnya berbeda serta akan ada lobi tidak sehat pengusaha dan anggota DPR untuk proyek pembangunan," katanya menambahkan.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015