Oleh Hanni Sofia Jakarta (ANTARA News) - Jangan bertanya siapakah Sugiyem, sebab ia bukanlah Teh Ninih istri dai kondang AA Gym yang menerima suaminya berpoligami. Namun toh Sugiyem yang kini beranak lima itu harus bernasib sama dengan istri penceramah ternama dari Bandung itu; dimadu. "Perempuan mana sih yang mau dimadu," kata perempuan kelahiran Klaten, Jawa Tengah, itu berkali-kali dengan suara bergetar. Sudah setahun terakhir, Sugiyem yang tidak lagi muda itu harus berbagi suami dengan perempuan muda yang amat dikenal sebagai tetangga dekat. Istri muda suaminya itu Marwati namanya, umurnya baru menginjak 24 tahun, dan bahkan Giyem seperti sangat berat menyebut nama itu. Sekuat tenaga selama puluhan tahun ia bertekad mengabdikan diri dengan mencari predikat sebagai istri yang baik bagi suaminya, Partono, sopir "orang" Korea yang tinggal di Jakarta. Giyem berkisah saat pertama kali datang ke Jakarta pada 1972. Setahun kemudian Partono melamar untuk meminang perempuan berperawakan kecil itu. Tiga puluh tahun lebih Giyem menjunjung kesetiaan yang dipercayakan Partono padanya, tetapi sang suami toh berpaling dan membagi cinta dengan perempuan lain. Giyem yang kini telah 52 tahun itu hanya bisa pasrah ketika suami menghadiahkan "madu" yang justru membuatnya kian merasa pahit mengecap kehidupan. "Saya ikhlas sebab saya takut berdosa kalau melarang suami saya. Sejak dulu saya diajari untuk selalu menurut pada suami," kata perempuan kelahiran tahun 1954 itu. Perempuan yang tinggal di Bintaro Jaya itu mengatakan, memilih untuk bercerai dari Partono adalah keputusan yang egois terlebih bagi anak-anaknya yang kini tengah beranjak dewasa. Oleh karena itulah, ia bertahan di tempatnya dengan sekuat tenaga, meski derita batin lebih sering ia tumpahkan lewat air mata. "Kadang ada keputusan tertentu yang sama sekali bukan milik saya. Ada banyak pertimbangan mengapa saya enggan memilih untuk berpisah, cobalah berada di tempat saya, cobalah jadi ibu dan lihatlah anak-anak yang tidak pernah ingin mengenal perpecahan dalam keluarganya," katanya. Berbagi Materi Beberapa waktu belakangan ini, Giyem yang sudah lama sekali tidak mengenal kata "mencari nafkah" harus kembali belajar bekerja mengusahakan uang tambahan untuk anak-anaknya. Sebab, ia merasa wajib mendukung suaminya agar berbuat adil dalam membagi diri dan hartanya. "Beberapa barang di rumah kami diboyong ke tempat Mar, dibagi dua biar adil," katanya. Namun, Giyem toh tidak bisa melawan, sejak puluhan tahun lalu ia menggantungkan hidup kepada suaminya dan hanya sempat bekerja enam bulan sebelum menikah di sebuah pabrik konveksi di Tangerang yang konon sekarang sudah tutup. "Kalau saya mau diusir dari rumah kami yang sekarang, saya tidak berhak membawa apa-apa, karena tidak pernah cari duit," katanya. Itu belum seberapa, sebab Partono pun mesti membagi penghasilannya menjadi dua bagian yang sama rata. Giyem mengaku mendapat jatah bulanan dari suaminya hanya Rp700 ribu per bulan. Menurut dia, jumlah itu terbilang jauh dari cukup, sebab kini anaknya yang ketiga telah memasuki sekolah SMK. Beberapa bulan terakhir, ia memutus saraf "malunya" dan bergabung bersama komunitas pemulung di terminal Blok M, Jakarta Selatan. Sepertinya takdir telah menggariskan Sugiyem sejak enam bulan silam untuk menjadi pemungut botol air mineral bekas di Terminal Blok M demi bertahan hidup di ibu kota. "Saya memutuskan jadi pemungut botol air mineral saja," katanya. Ia mengatakan, pekerjaan itu memberinya penghasilan yang lumayan, dalam sehari Giyem bisa mendapatkan Rp25.000 hingga Rp30.000 yang bisa digunakan untuk menyambung hidup bersama kelima anaknya. Maka kini, bila fajar pagi menyingsing di langit Bintaro, perempuan paruh baya itu bersiap berangkat ke "ladang" kerjanya untuk memburu botol-botol bekas air mineral yang kerap berserak dibuang orang-orang yang kehausan di jalanan Blok M. Ia baru akan pulang bila hari telah rembang petang, tapi sebelumnya Giyem lebih dulu menjual botol-botol yang telah seharian penuh ia kumpulkan ke agen plastik kiloan. Giyem, yang ditemui saat mengantri daging korban di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan, beberapa waktu silam itu, tampak benar kelelahan, tetapi ia tidak ubahnya perempuan tegar yang teramat tangguh menghadapi cobaan berat yang menimpanya. Giyem bisa jadi tidak sendiri, sebab potret perempuan yang senasib dengannya kerap kali tidak terjamah bidikan fotografer kenamaan yang bisa mengangkat kehidupan Giyem menjadi cermin bagi sesamanya. Poligami juga merupakan realitas kekinian yang kembali mencuat belakangan ini dan selalu dibahas dengan mufakat; sepakat untuk tidak sepakat dari banyak pihak. Namun, toh bila poligami ternyata membawa dampak buruk bagi pihak-pihak yang terlibat, mantan ibu negara, Shinta Nuriyah Wahid, mengatakan, poligami sebaiknya tidak dilakukan. Psikiater yang juga guru besar FK UI, Prof Dr dr H Dadang Hawari, mengatakan, saat berusaha meletakkan poligami pada tempat yang tepat, hendaknya seseorang belajar dari perjalanan panjang sang teladan, yaitu Nabi Muhammad. "Namun jangan ditelan mentah-mentah lihat juga kisah-kisah yang menjadi latar dari yang telah Nabi lakukan termasuk saat memutuskan untuk berpoligami," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007