Bandarlampung (ANTARA News) - Beberapa wartawan di Bandarlampung menjadi sasaran amarah karena memberitakan pasien terindikasi terjangkit virus HIV/AIDS di Lampung belum lama ini. Kemarahan massa disertai aksi teror menggunakan telepon yang juga dialami setidaknya dua jurnalis dari dua koran harian berbeda di Lampung itu, diungkapkan kembali pada dialog saat Pelatihan Jurnalistik bagi 25 wartawan tentang Akselerasi Penanggulangan HIV/AIDS di Bandarlampung, Rabu siang. "Padahal dalam pemberitaan pasien terindikasi HIV/AIDS itu, sudah mengikuti kaidah etika jurnalistik, diantaranya menyamarkan identitas dan tempat tinggalnya tapi masih saja muncul reaksi negatif seperti itu," kata salah satu wartawati koran harian di Bandarlampung itu pula. Akibat kejadian itu, kendati mendapatkan dukungan dan perlindungan dari media tempatnya bekerja, wartawan itu mengaku sempat juga ketakutan dan cemas serta tidak pernah melayani telepon masuk dari nomor-nomor yang tidak dikenali. Wartawati lainnya mengaku pula, pernah menjadi sasaran kemarahan sekelompok orang yang bereaksi negatif setelah memberitakan adanya kasus penderita HIV/AIDS yang ternyata diketahui masih keluarga dekat pejabat tertentu di Lampung. "Bahkan saya sampai diancam untuk diadukan ke polisi segala," kata wartawati itu pula. Keluhan lain dalam peliputan tentang HIV/AIDS adalah kesulitan dalam mengakses data terbaru dan memiliki validitas tinggi tentang temuan baru kasus HIV/AIDS di Lampung. Begitupula umumnya wartawan yang pernah meliput pasien terindikasi HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung mengaku mendapatkan perlakuan kurang mengenakan serta dipersulit akses mendapatkan informasi yang diperlukan. Mereka juga sulit mendapatkan konfirmasi dari dokter atau pejabat berwenang di RS milik Pemprov Lampung itu. Padahal peran para wartawan dan media massa dalam penanggulangan HIV/AIDS menurut hasil survai baseline dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional cukup besar, mengingat sebagian besar masyarakat justru mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS itu bukan dari tenaga medis dan petugas rumah sakit atau penyuluh dan aktivis LSM pegiat HIV/AIDS tapi dari media massa. "Bagaimana kami bisa mengekspose dengan baik tentang HIV/AIDS itu kalau justru masyarakat bereaksi negatif dan menjadikan kami sasaran amarah dari keluarga pasien HIV/AIDS atau tetangga lingkungan tempat tinggalnya," kata Dani, koresponden salah satu tv swasta di Bandarlampung pula. Para wartawan itu mengingatkan semua pihak, terutama masyarakat dan para pejabat dinas dan RS terkait penanganan kasus HIV/AIDS di Lampung agar dapat memahami tugas dan fungsi jurnalis untuk terus menerus bisa menyebarluaskan informasi yang berhak diketahui oleh publik terkait penyakit mematikan itu. Namun menurut pegiat Komisi Penanggulangan AIDS Bandarlampung, Edwin Saleh, hendaknya peliputan terhadap pasien HIV/AIDS dan para pengidapnya lebih dulu meminta izin dari pasien dan keluarganya serta ekspose yang dilakukan tetap mengindahkan kaidah etika pers sekaligus hak privasi dan menghormati penderita dan keluarganya itu. Untuk akses data HIV/AIDS, selain melalui KPA setempat, dapat pula menghubungi pejabat pemerintah dan pejabat dinas terkait yang berwenang serta tidak menggunakan informasi dari sumber yang kurang terpercaya. Edwin mengakui, hingga saat ini pengidap HIV/AIDS kebanyakan masih menyembunyikan penyakitnya serta menganggap sebagai aib bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Pengidap HIV/AIDS pun cenderung masih dikucilkan.(*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007