"Di Indonesia terdapat 279 titik rawan bencana seperti tanah longsor, banjir dan kebakaran. Kementerian Sosial memiliki pemetaan terhadap berbagai bencana tersebut dan memperbanyak Kampung Siaga Bencana," kata Mensos dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Selain memperbanyak Kampung Siaga Bencana, warga dilatih menjadi kader yang paham akan tanda-tanda alam sebelum terjadi bencana dan agar akrab dengan alam, tapi memiliki kesiapan mental menghadapi setiap bencana atau live in harmony with disaster.
"Warga desa dilatih sebagai kader yang akrab dengan alam, memilki kesiapan mental, serta paham tanda-tanda bencana, seperti tanah retak-retak pertanda akan terjadi longsor. Bagi warga yang tinggal dekat aliran sungai, tahu kapan air meluap dan menggenangi permukiman yang bisa berhari-hari," katanya.
Pada posisi demikian, Taruna Siaga Bencana (Tagana) diminta tiba satu jam di lokasi bencana. Sebagai garis depan, Tagana sudah menjadi bagian dari penanganan bencana alam dan sosial, misalnya di Aceh, dengan menyiapkan dapur umum lapangan (dumlap), evakuasi darurat, serta mendirikan tenda darurat.
"Dalam proses evakuasi korban bencana, Tagana berada pada sub-sistem dari Badan SAR Nasional (Basarnas). Sedangkan, pada masa tanggap darurat langsung di bawah Kemensos," katanya.
Pascabencana, biasanya banyak para korban mengalami gangguan psikologis, seperti rasa cemas dan putus asa. Tagana diharapkan menjadi bagian dari pelayanan tanggap darurat. Maka, Tagana setiap saat harus ada penguatan dan tetap solid di lapangan.
"Tagana adalah relawan dan bukan aparatur pemerintah yang digaji negara. Mereka harus dikelola sebagai community based disaster," kata Khofifah.
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015