Jakarta (ANTARA News) - Tingginya persentase sampah anorganik termasuk plastik yang diperkirakan mencapai lebih dari 15.000 ton per hari membuat pemerintah terus mendorong produsen untuk menggunakan plastik yang mudah terurai secara alami.
"Perbandingan persentase sampah organik dan anorganik tidak terlalu tinggi. Di 2015 sepertinya kecenderungan sampah plastik meningkat, karena itu kita dorong agar perusahaan gunakan plastik ramah lingkungan," kata Asisten Deputi Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) R Sudirman di sela-sela dialog Penanganan Sampah Plastik di Jakarta, Rabu.
Tanggung jawab penanggulangan dampak penggunaan plastik terhadap pengelolaan sampah oleh produsen tertuang dalam pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Tanggung Jawab Produsen (Extended Producer Responsibility/EPR). Karena itu, ia mengatakan kementeriannya tentu akan mempertanyakan peran pengusaha termasuk peritel dalam mengurangi sampah plastik anorganik yang sulit terurai secara alami.
"Peta jalan produsen untuk pengurangan penggunan sampah plastik anorganik ini nanti diminta. Upaya apa yang sudah mereka lakukan harus ada, misalnya plastiknya dibuat lebih tipis," ujar dia.
Menurut dia, tidak mudah membuat produsen mau beralih menggunakan biodegradable plastic atau plastik yang mudah terurai secara alami. Berbagai faktor diantaranya persoalan teknologi dan harga menjadi kendala produsen beralih ke plastik ramah lingkungan.
Ke depan ia mengatakan KLHK akan memperkuat kampanye kepada masyarakat agar lebih memilih kemasan yang ramah lingkungan. Kesadaran konsumen untuk hanya menggunakan kemasan ramah lingkungan pada akhirnya juga akan membuat produsen memilih untuk semakin ramah lingkungan.
Kepala Pusat Pengkajian Industri Hijau Kementerian Perindustrian Lilih Handayaningrum mengatakan penggunaan biodegradeble plastic perlu pertimbangan dan kesiapan industri dalam negeri, selain juga perlu ada pengembangan teknologi untuk mempertipis plastik.
Masalah mengurangi plastik anorganik ini, menurut dia, memang menjadi tantangan besar sehingga perlu ada upaya bersama dari pemerintah, peneliti termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), produsen, hingga konsumen.
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012 tentang penggunaan bahan baku plastik yang mudah terurai oleh proses alam memang dilakukan bertahap selama 10 tahun. Jangka waktu tersebut cukup masuk akal mengingat proses yang sama di Amerika Serikat (AS) pun butuh waktu hingga 25 tahun.
"Teknologinya butuh investasi cukup besar, dan ini jadi tantangan," ujar dia.
General Manager PT Unilever Indonesia Foundation Sinta Kaniawati di sela-sela dialog kepada Antara mengatakan pihaknya memang sejauh ini tidak menggunakan kemasan biodegradable plastic, tetapi lebih kepada kemasan yang dapat didaur ulang sesuai dengan prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle (3R).
Unilever, menurut dia, menggunakan kemasan dengan plastik yang dapat didaur ulang dengan menggunakan plastik poly propylene (PP) dan Poly Ethylene (PE). Namun untuk kemasan saset masih menggunakan plastik multi layer yang belum bisa didaur ulang.
"Kita belum menemukan teknologi yang bisa kembangkan plastik ukuran saset yang dapat didaur ulang, sejauh ini teknologi tersebut masih dalam tahap kajian. Lebih dari dua tahun kita melakukan kajian tersebut, tapi memang sulit," katanya.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015