Jakarta (ANTARA News) - Direktur Walhi Jakarta, Selamet Daroyni, memperkirakan pada 2007 akan terus terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup berupa fisik maupun non-fisik di Jakarta, akibat arah pembangunan yang masih mengutamakan pemanfaatan lahan. "Arah pembangunan Jakarta yang masih berupa pemanfaatan lahan, bahkan mengalihkan fungsi dari konservasi jadi fungsi-fungsi lain, akan memperparah krisis air yang saat ini saja sudah sangat terasa," kata Selamet, dalam acara Dialog Awal Tahun "Kecenderungan Arah Politik dan Masa Depan Lingkungan Hidup Jakarta", di Jakarta, Rabu. Pasokan air bersih untuk warga Jakarta masih sangat bergantung kepada air bawah tanah dangkal dan air bawah tanah dalam, yaitu 55 persen. Sementara pasokan dari PDAM hanya mampu memenuhi kebutuhan 45 persen penduduk Ibukota. "Sekitar 70-80 persen kebutuhan air baku air minum DKI Jakarta disuplai dari luar provinsi, yaitu dari Waduk Jati Luhur dan Tangerang. Hampir separuh warga Jakarta memenuhi kebutuhan air dengan Pengambilan Air Bawah Tanah (ABT), yang 75-85 persennya sudah mengalami pencemaran bakteri e-coli atau colliform," katanya. Ia melanjutkan hingga saat ini krisis air bersih di Jakarta masih menjadi masalah yang tak terpecahkan, "Sekitar 40 persen biaya yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan justru digunakan untuk membeli air bersih." Kebijakan pemanfaatan lahan yang keliru tidak hanya mengakibatkan krisis air bersih, melainkan juga bencana banjir di titik-titik tertentu Ibukota. "Tidak pernah ada perubahan yang fundamental dari sudut pembangunan kota untuk menjadikan Jakarta bebas dari bencana banjir," kata Selamet. Walhi Jakarta mencatat kerugian banjir yang terjadi "rutin" tiap tahun di Jakarta mencapai Rp92 miliar per hari, dengan asumsi 370.167 KK di 514 RW yang rumahnya terendam air bah. "Kerugian itu antara lain dihitung berdasarkan hilangnya akses berusaha/bekerja, gangguan kesehatan, gangguan kenyamanan, kerusakan fisik bangunan, dan biaya perbaikan rumah," ujar dia.Sampah dan kualitas udara Kualitas lingkungan hidup Jakarta juga diperkirakan bakal terus menurun pada 2007, dilihat dari pengelolaan sampah yang menjadikan kota tak ubahnya "bak sampah raksasa" yang tiap harinya dijejali 6.000-6.500 ton sampah. "Jakarta belum juga mendapatkan solusi untuk masalah sampah, selain kendala utama yaitu belum adanya payung hukum berupa Undang-undang Sampah," ujarnya. Memburuknya kualitas udara juga diprediksi masih bakal terus terjadi pada tahun 2007. Menurut data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, jumlah hari dengan kualitas udara berkategori baik sejak 2002 terus bertambah, namun jumlah hari yang kualitas udaranya tidak sehat juga mengalami peningkatan. Bila sepanjang 2002 jumlah hari dengan kualitas udara berkategori baik adalah 21, pada tahun 2003 menjadi 25 hari, tahun 2004 menjadi 53, tahun 2005 turun lagi menjadi 28, dan pada tahun 2006 tercatat 37 hari. Untuk jumlah hari dengan kualitas udara berkagetori tidak sehat, pada 2002 jumlahnya 114, turun jadi 63 hari pada tahun 2003, 5 hari sepanjang tahun 2004, naik jadi 18 hari pada tahun 2005, dan kembali melonjak jadi 50 hari pada tahun 2006. Peningkatan pencemaran udara ini, menurut Walhi, disebabkan oleh kegiatan industri ("gray smog") yang belakangan makin "giat" mencemari udara kota setelah adanya kampanye pemerintah soal penggunaan batu bara. Penyebab utama lainnya adalah emisi gas kendaraan bermotor ("brown smog"), yang diakui Hotman Silaen dari BPLHD Jakarta sebagai pemasok 79 persen polusi udara di Jakarta. Di atas semua persoalan lingkungan hidup yang saat ini dihadapi Jakarta, Selamet menggarisbawahi keprihatinannya atas kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hingga 2010 yang stagnan alias tidak mengalami kemajuan atau kejelasan soal tata ruang kota Jakarta. (*)

Copyright © ANTARA 2007