Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Hendrawan Supratikno berpendapat nilai ekspor Indonesia memiliki peluang untuk menembus angka 100 miliar dolar AS, sehubungan harga komoditas ekspor Indonesia berada pada tingkat yang cukup baik. "Saya pikir optimisme pemerintah kalau nilai ekspor 2006 akan melewati 100 miliar dolar AS cukup beralasan, karena harga komoditas untuk ekspor sedang tinggi, dan kalau itu terjadi merupakan rekor yang luar biasa," kata Hendrawan di Jakarta, Rabu menanggapi tentang optimisme Badan Pusat Statistik (BPS) kalau nilai ekspor Indonesia akan tembus 100 miliar dolar AS. BPS, Selasa (2/1), mengisyaratkan nilai ekspor Indonesia 2006 akan melewati angka 100 miliar dolar AS atau naik dari tahun-tahun sebelumnya, mengingat pertumbuhan ekspor Januari-November 2006 mencapai 91,19 miliar dolar AS. Hendrawan mengatakan harga-harga komoditas ekspor seperti minyak sawit mentah, batu bara, timah, nikel, dan lainnya berada pada harga yang cukup tinggi, sehingga mendongkrak nilai ekspor tiap bulannya. "Saya mencatat sejak Mei, nilai ekspor Indonesia rata-rata mencapai di atas delapan miliar dolar AS, kalau Desember 2006 juga bisa dipertahankan, maka tidak mustahil bisa tembus angka psikologis 100 miliar dolar AS," kata guru besar ekonomi di Institut Bisnis dan Informatika (IBII) itu. Ia menambahkan walaupun tidak menembus angka 100 miliar dolar AS pun, sesuai dengan estimasi dan analisis dari para ahli yakni nilai ekspor 2006 akan berada pada kisaran 98 - 99 miliar dolar AS, pun sudah merupakan prestasi tersendiri. Namun demikian, Hendrawan mengungkapkan bila nilai ekspor Indonesia bisa menembus 100 miliar dolar AS, pemerintah tidak boleh bersenang hati dulu. Pasalnya, kata Hendrawan, nilai ekspor Januari-November sebesar 91,19 miliar dolar AS itu hanya didominasi oleh perdagangan produk primer yang tidak diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Ia mencontohkan timah yang diekspor ke Singapura dan minyak sawit mentah yang diekspor ke Malaysia belum dalam bentuk produk turunannya. Menurut Direktur Program Doktor IBII itu, kondisi ini tidak akan memberikan nilai tambah dan "multiflier" efek seperti penyerapan tenaga kerja di Indonesia, karena industri belum mampu mengolah produk primer tersebut. "Singapura dan Malaysia sudah bisa mengolah produk-produk primer itu ke berbagai produk turunannya, sehingga mereka mendapatkan nilai tambah. Ibarat nelayan yang menjual ikan kepada pengusaha restoran seharga Rp15 ribu per kg, si pemilik restoran bisa mengolahnya menjadi menu makanan yang lezat dengan harga jual ke konsumen Rp100 ribu. Indonesia nelayannya, Singapura dan Malaysia pemilik restorannya. Bisa dibayangkan berapa nilai tambahnya," katanya. Untuk itu, kata Hendrawan, pemerintah harus mengambil langkah-langkah kebijakan untuk melakukan pendalaman industrial agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa meningkat lebih tinggi. "Perkuat industri dari hulu ke hilir, jangan hanya bisa mengeskpor produk primer, tetapi produk turunannya. Selain itu, penelitian dan pengembangan juga perlu ditingkatkan," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007