Oleh Akhmad Kusaeni Jakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden Irak Saddam Hussein digantung tepat pada Hari Raya Idul Adha. Orang terpana, geram, terenyuh, bulu kuduk merinding, ketika menyaksikan tayangan prosesi hukuman mati atas lelaki berkumis tebal itu di televisi. Saddam tampak pasrah. Ia agaknya tabah menghadapi maut yang bakal menjemputnya. Ketika algojo menawarkan untuk menutup matanya, Saddam menolak. Ia ingin menghadapi sakratul maut dengan mata terbuka. Akhirnya, kain hitam untuk penutup mata itu diikatkan ke leher Saddam sebagaimana anak-anak SD memakai kain kacu Pramuka. Tak ada air mata. Orang kuat tak menangis. Meskipun diujung ajal. Saddam dibawa ke tiang gantungan. Ia mengikuti saja apa yang diperintahkan petugas bertopi kupluk yang akan menjadi algojonya. Tali tambang yang sudah dibuat simpul sejurus kemudian sudah terkalungkan di leher Saddam. Tokoh yang dijuluki "Nebuzachnezzar" itu sama sekali tidak berontak. Sepertinya ia yakin akan jalan kematiannya. Ia hanya terlihat komat-kamit. Mungkin juga berdoa. Kaki Saddam kokoh menginjak dudukan kayu setinggi sekitar setengah meter dari lantai. Tepat pukul 06.00, di depan juru kamera, algojo menarik dudukan kayu itu. Gaya gravitasi membuat tubuh Saddam terjatuh. Tapi tali tambang di leher Saddam justeru menguat dan mencekik amat kuat, mencegah tubuh Saddam menghujam bumi. Krreeekk! Terdengar tulang leher Saddam patah. Tubuh Saddam dibiarkan menggantung selama 10 menit sampai algojo memastikan Saddam tewas. Eksekusi hukuman mati Saddam dengan cara purba digantung itu tuntas. Lalu apa makna eksekusi Saddam itu bagi publik dunia? Bukan hal baru Eksekusi mati terhadap pemimpin atau mantan pemimpin memang bukan hal baru dalam sejarah. Pada 52 tahun sebelum Masehi, Vercingetorix, pemberontak terhadap imperium Romawi, ditangkap Julius Caesar setelah kalah perang di Alesia, sebelah timur Prancis. Ia dibelenggu dengan rantai selama enam tahun dan dipertontonkan kepada public sebagai piala kemenangan perang. Menurut pengamat sejarah Manuel Garcia Jr., tahun 46 sebelum Masehi, Vercingetorix, diambil dari selnya . Ia diseret ke jalan-jalan di Roma saat upacara penghormatan terhadap Julius Caesar. Di depan mimbar upacara, "pemberontak" itu dieksekusi dengan cara dicekik di depan massa. Julius Caesar sendiri hanya hidup dua tahun setelah peristiwa itu. Kaisar Romawi itu dieksekusi oleh kelompok pembunuh yang menusuknya dengan belati pada tahun 44 sebelum Masehi. Eksekusi setelah perang juga terjadi pada Perang Dunia II. Mahkamah Perang digelar di Nuremberg, Jerman, dan Tokyo, Jepang, pada tahun 1945 sampai 1949. Kebanyakan penjahat perang Jerman dieksekusi pada 16 Oktober 1946 dimana secara marathon selama 3,5 jam sebanyak 10 pemimpin negara kalah perang digantung massal. Begitu juga tujuh penjahat perang Jepang dieksekusi dengan cara digantung pada 13 Desember 1948. Eksekusi pemimpin pihak yang kalah perang oleh pihak yang memenangkan perang, dalam pandangan Garcia, merupakan sebuah ritual. Eksekusi itu merupakan panggung politik untuk publik. Sebagai hadiah atau piala bagi pendukung dan juga hukuman buat musuh agar berhenti melakukan perlawanan. Dari kacamata sejarah tersebut, bisa disimpulkan bahwa eksekusi penggantungan Saddam jelas merupakan ritual kemenangan pasukan Amerika Serikat atas jajahannya. Itu merupakan dekapitasi bagi mantan elite Irak dan sebuah pameran bagi rakyat Irak untuk tunduk kepada kekuasaan Barat. Kurang pas Namun, ada satu hal yang dianggap publik dunia kurang pas. Apalagi bagi mereka yang pernah menonton film "The War of the Worlds" yang dibintangi oleh Tom Cruise. Dalam film yang diangkat dari novel karya HG Well itu, pasukan dari planet Mars yang memiliki teknologi dan militer lebih hebat dari AS itu menyerang bumi dengan menginvasi daratan Amerika Serikat. Meskipun situasi dan jalan ceritanya agak berbeda, film "The War of the Worlds" itu paling tidak diilhami oleh kasus Irak yang diserbu oleh pasukan asing yang memiliki teknologi dan mesin perang jauh lebih canggih disbanding yang dipunyai Saddam Hussein. Lalu, pikiran liar penonton membayangkan bagaimana jika makhluk-makhluk asing dari planet lain itu datang dengan piring terbang dan mesin perang yang tidak bisa dihancurkan oleh senjata nuklir milik AS sekalipun. Bayangkan juga jika televisi dan radio di bumi itu dikuasai makhluk asing itu untuk menyampaikan pesan-pesan bahwa "Kami datang untuk membebaskan bumi dari peperangan, mengakhiri kelaparan dan kemiskinan". Lalu setelah bumi dikuasai, makhluk asing itu menangkap para pemimpin bumi. Makhluk asing membentuk Mahkamah Penjahat Perang seperti di Nuremberg, Tokyo atau Baghdad. Vonis mati dijatuhkan. Pada hari yang dipilih, bisa juga Hari Raya Qurban seperti yang berlaku pada Saddam Hussein atau Hari Penghormatan bagi Julius Caesar seperti berlaku pada Vercingetorix, para pemimpin itu dieksekusi. Prosesi penggantungan dipublikasikan di televisi. Tayangan itu juga diposting di Internet. Para pengguna telpon genggam saling kirim gambar eksekusi sadis itu. Persis seperti yang terjadi pada kasus eksekusi Saddam Hussein. Sejarah selalu berulang karena manusia tidak pernah bisa belajar dari pengalaman.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007