Jakarta (ANTARA News) - Banyak sekali yang berkecamuk dalam benak Baby Jim Aditya, sampai-sampai dia bingung menuliskannya dan berharap bisa mengenakan topi berelektroda yang bisa langsung mengubah pikiran-pikirannya menjadi tulisan.

Perempuan yang berprofesi sebagai psikolog klinis, seksolog, grafolog dan hipnoterapis itu kadang menulis pengalaman, pengetahuan, pikiran, serta ungkapan perasaan yang lalu lalang dalam benaknya di akun jejaring sosial.

Seorang pemimpin redaksi SaLaris Publisher Jakarta yang getol mendorong Baby menulis buku kemudian mengumpulkan tulisan-tulisannya di Facebook dan menuangkannya ke dalam buku "Catatan Yang Tercecer: Dari Cakalang Pampis Sampai Cabe-Cabean."

Sembilan bab dalam buku 192 halaman itu memuat catatan-catatan Baby tentang berbagai hal, mulai dari cerita tentang bagaimana suaminya, Jim Bary Aditya, memasak cakalang pampis--masakan Manado berbahan dasar ikan cakalang-- sampai masalah prostitusi, narkoba, dan HIV/AIDS.

Dia memulainya dengan bab cinta, berbagi cerita tentang suami yang memberi dia privilese dalam rumah tangga dan menjadikannya perempuan bebas dan merdeka dalam relasi keluarga, serta dua anak lelakinya, Gior Getarcipta dan Zaro Megagenta.

Kandidat doktor di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu lantas melanjutkannya dengan tulisan-tulisan tentang pikiran dan komentarnya tentang pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga, serta pengalamannya menangani kasus-kasus seksualitas pada anak-anak dan remaja yang ternyata sungguh jauh melampaui praduga umum tentang mereka.

Dia menuliskan pula daftar panjang kasus-kasus kekerasan seksual pada anak yang membuat miris serta ulasan tentang fenomena-fenomena dalam masyarakat seperti fenomena "cabe-cabean", "terong-terongan", geng motor, dan acara-acara televisi yang seringkali mengeksploitasi suatu hal tanpa tujuan jelas.

Pembahasan mengenai hubungan pernikahan yang tidak sehat, prostitusi, kasus narkoba pada selebriti dan efek macam-macam narkoba, sampai tentang orang-orang yang terburu-buru melakukan segala sesuatu ketika seharusnya belajar menahan diri saat Ramadhan pun tak luput dari perhatiannya.


Kepahitan

Kepada beberapa puluh orang yang menghadiri bedah bukunya di Megawati Institute, Jakarta, Jumat (5/6), Baby menyebut tulisan-tulisannya dalam buku itu "sebenarnya adalah kemarahan yang mendalam dan subtil."

Tumbuh dengan ayah dan ibu yang sering bertengkar membuat perempuan yang pada tahun 1981 menjadi penyiar radio Prambors itu pernah berjanji tidak akan menikah hingga Jim datang dan keduanya "lolos" menjalani uji kemampuan saling mentoleransi dengan mengeluarkan semua keburukan selama berpacaran.

"Saya berasal dari kepahitan hidup seperti itu... Saya enggak mau anak-anak saya melihat orangtua berantem, dan selama 30 tahun kami menikah tidak pernah kedua anak saya melihat kami berantem di rumah. Kalau berantem kami keluar, kadang sambil nyetir saya telpon dia, kadang SMS-an, kadang surat-suratan, kadang diem-dieman," katanya.

Kepahitan itu sudah berlalu baginya. Tapi dia masih melihat kisah-kisah pahit lain yang seringkali membuat dia sedih dan marah dalam kesehariannya sebagai psikolog, seksolog, dan peneliti perilaku seksual.

Perempuan yang lahir di Jakarta pada 5 Desember 1962 itu melihat bagaimana anak-anak dan orang tua sudah tidak lagi saling menghargai dan menggunakan kata-kata kasar yang bisa melukai perasaan tanpa rasa bersalah.

Dia menyaksikan bagaimana para orangtua melupakan hak-hak anak, dan tidak memperhatikan dampak setiap tindakan dan ucapan mereka pada perkembangan psikologis anak sehingga dengan mudah melontarkan kata-kata yang bisa menimbulkan luka permanen pada jiwa anak.

"Saya hanya mau menggunakan kata-kata baik untuk anak-anak saya. Saya enggak mau anak saya mendengar kata kasar dari saya karena kalau saya omong kasar artinya saya menanamkan citra ibu yang buruk ke anak-anak saya...," kata Baby, yang jika ada kesempatan selalu membisikkan bacaan Al Fatihah ke telinga anak-anaknya.

Dia juga melihat bagaimana para lelaki mencederai janji pernikahan tanpa rasa bersalah, berselingkuh, dan mendatangi tempat-tempat pelacuran tanpa peduli bahwa istri yang setia mendoakan suami di rumah bisa tertular infeksi menular seksual akibat perbuatan mereka.


Terserak

Membaca kisah manis dan catatan-catatan pahit dalam buku Baby seperti mendengarkan dia menceritakan beragam masalah yang sehari-hari dia hadapi sebagai perempuan, istri, ibu, pekerja kemanusiaan, pegiat HIV/AIDS, pengajar, peneliti perilaku seksual, psikolog, ahli hipnoterapi, dan anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan. Seperti mengikutinya melihat lebih dekat ke lingkungan dan orang-orang di sekitar kita.

Seperti kata Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono dalam pengantarnya, celotehan-celotehan Baby dalam buku ini temanya sangat beragam, semula tampak terserak dan tidak saling terkait, ibarat pepatah "ada maling pakai sarung, enggak saling nyambung". Rasanya ramai kata Prof Sarlito.

Namun pada akhirnya terasa ada benang yang menyatukan tulisan-tulisan dalam buku ini, yakni bahwa semuanya bisa menjadi bahan renungan dan pelajaran hidup bagi pembacanya.

Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, yang biasa disapa Kak Seto, mengaku banyak belajar dari buku Baby.

Dia suka cara penulis menyampaikan masalah-masalah seks bebas, geng motor, dan hubungan suami istri secara lugas dan terbuka.

"Karena dalam rumah tangga memang kadang orang sibuk belajar soal parenting (pengasuhan), dan lupa belajar tentang coupling (hidup berpasangan)...," katanya.

Kak Seto juga mengaku banyak belajar tentang bagaimana mencintai dan mengungkapkan cinta kepada anak-anak dari buku yang menurut dia ditulis dengan berani, lugas, dan tanpa tedeng aling-aling itu.

"Saya belajar banyak tentang bagaimana mencintai anak-anak, bahwa mengungkapkan cinta pada anak tidak hanya dengan kata-kata," kata ayah dari dua anak yang sudah 45 tahun menjadi guru taman kanak-kanak itu.

Dia juga menghargai upaya penulis untuk meluruskan paradigma yang keliru mengenai pendidikan anak. Bahwa sekarang sudah bukan zamannya lagi mendidik anak dengan cara-cara kekerasan karena anak-anak korban kekerasan hanya akan menjadi pelaku-pelaku kekerasan pada masa mendatang.

"Saya mengapresiasi buku ini. Ini salah satu buku yang sudah dibicarakan dalam keluarga saya," kata Kak Seto, yang memberi nilai sampai sembilan lebih untuk buku Baby.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015