Leiden (ANTARANews) – "Ini baru pertama kali ada pejabat Pemerintah Republik Indonesia datangke sini dan terang-terangan bilang mewakili jabatannya. Biasanya, kalau adapejabat datang paling-paling ngakunya sebagai urusan pribadi," kata MintardjoSardjio, salah seorang tokoh masyarakat Indonesia di Belanda
Pak Min, demikianpria 80-an tahun itu biasa disapa, mengungkapkan komentar itu dikediamannyasaat menerima rombongan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP)Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI Freddy Herman Tulung diLeiden, Belanda, Kamis (28/5).
Pagi itu, sekitar pukul 11.00, udara kota Leiden berkisar sembilan derajat Celcius. Namun, dalampondok Pak Min di Korenbloemlaan 59, 2343 VB Oestgeest, suasana terasa hangatlantaran terjalin diskusi mengenai situasi terkini di Indonesia. Muncul pulaharapan masyarakat RI di Belandaterhadap Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
"Saya dankebanyakan masyarakat Indonesia yang sering datang ke rumah ini boleh dikatakanpernah dibuang, tidak dianggap, oleh Soeharto. Biarlah ini jadi cerita lama. Sekarang Indonesia baru punya Presiden Jokowi yang maunya semua serbaterbuka," ujar Pak Min.
Pondok Pak Minsejak berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno pada 1965 menjadi salah satutempat favorit berkumpulnya masyarakat Indonesia di Belanda.
Mereka sempattanpa status kewarganegaraan (stateless) karena paspornya dinyatakan tidakberlaku atau dicabut dengan alasan paham politik mereka tidak sejalan denganOrde Baru.
Pemuda Mintardjopada 1960-an termasuk yang diberangkatkan Presiden Soekarno untuk belajar ilmuekonomi ke Rumania. Saat Soekarno jatuh dari pemerintahan, para pemuda di luarnegeri termasuk dirinya digalang untuk mendukung Orde Baru pimpinan Soeharto.Lantaran menolak, ia pun dinyatakan paspornya sebagai warga negara Indonesia(WNI) tidak berlaku lagi.
"Ya, inilahrisiko berprinsip. Risiko perjuangan. Hak jadi WNI dicabut, tapi kecintaan sayapada Republik Indonesia tidak pernah tercabut," ujarnya.
Pengalamanpribadinya membuat pria beristrikan perempuan Rumania, Liliyana (almarhumah),tersebut selalu menyediakan waktu dan pondoknya bagi mahasiswa Indonesia yangmemerlukan tempat bermukim di Leiden.
Ayah dari HeruMintardjo, Ratnawati Mintardjo dan Nurkasih Mintarjo itu merelakan kamarputra-putrinya ditempati para mahasiswa perantau. Apalagi, tiga buah hatinyatelah berkeluarga dan meninggalkan rumah.
"Kami yangmenumpang di pondok Pak Min sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Ya, kamipun harus menempatkan beliau seperti ayah sendiri," kata Nurhayati, salahseorang dosen Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan, yangsempat bermukim di kediaman Mintardjo.
Pak Min mengakuisenang rumahnya tidak pernah sepi. "Senang saja, tetap punya anak-anak baru.Bisa jadi teman diskusi, bahkan tahu kondisi terkini di Tanah Air," katanya.
Oleh karena itu,ia merasa gembira atas kehadiran Freddy Herman Tulung bersama Wakil RektorUniversitas Indonesia (UI) Prof DR Bambang Wibawarta dan Guru Besar RisetLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof DR Ikrar Nusa Bakti.
Bambang Wibawartamengemukakan, "Kira-kira sepuluh tahun lalu saya sempat berkunjung ke sini.Berdiskusi panjang dengan Pak Min. Sulit melupakan beliau yang tetapbersemangat mencintai Indonesia hingga kini."
Kehadiran Bambangpun menjadi pemuas dahaga akan informasi bagi Pak Min dan puluhan orang yanghadir di pondoknya untuk mengetahui kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (JK),terutama berkaitan dengan Revolusi Mental.
"Revolusi Mentaldapat bermakna kita sebagai bangsa Indonesia harus berani secaraterang-terangan mengevaluasi diri sendiri untuk segera mencapai kebaikan danmengembangkan potensi menghadapi persaingan antar-bangsa yang semakin ketat,"ujarnya.
Adapun Ikrar NusaBakti banyak ditanya mengenai situasi politik terkini di Indonesia, Apalagi,para tamu di pondok Pak Min sebagian besar sudah mengenal Ikrar melaluiberbagai analisa dan komentarnya, yang juga terpublikasikan di Internet, termasukdokumentasi video YouTube.
"Terasa kuat adasemangat baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Pasangan Jokowi dan JKmembuktikan pemerintahan berbasis massa, karena mereka bukan orang-orangpenentu di partai pendukungnya. Mereka kuat di akar rumput massa pendukungnya yang menyebut diri relawan,"katanya.
Selain itu, Ikrarjuga mengemukakan sejumlah amatannya terhadap perkembangan politik, termasuk dualismekepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar),pembubaran Petral hingga singgungan di antara Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
"Memang adabanyak masalah, termasuk di seputar kebijakan Presiden Jokowi. Namun, harusdiakui inilah jalannya demokrasi yang masing-masing akan berujung menemukansolusinya sendiri," ujarnya menambahkan.
Suasana hangatpenuh rasa ingin tahu, tukar pendapat dan sejumlah harapan juga tercetus dalamdialog di pondok Pak Min lebih dari tiga jam. Saat makan siang disuguhi sopbuntut, gado-gado, ayam goreng dan nasi putih panas juga tak mampu menghentikandiskusi diselingi canda tawa sang empunya rumah bersama para tamu.
"Kami memang kesini untuk saling berbagi informasi. Pak Min dan saudara-saudara kita inibagaimana pun punya banyak jasa bagi Indonesia, terutama mahasiswa kita diLeiden. Kita wajib menjaga silaturahim sesama anak bangsa, dan menghormati parasesepuh," demikian Freddy Herman Tulung.
Oleh Priyambodo RH
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015