Ketua Komite Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Totot Indrarto mengatakan di Jakarta hanya terdapat sekitar 200 bioskop komersial dengan 900-an layar.
"Tapi mereka tak bisa diharapkan memutar film jenis seperti itu. Padahal saat ini jumlah film non-profit semakin banyak dan kualitasnya makin baik. Untuk ruang putar film non-profit saja hanya ada dua yakni Kineforum dan Paviliun 28," kata Totot dalam sebuah diskusi di Kineforum, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat.
Sementara itu, Ifa Isfansyah, salah seorang produser film non-profit "Siti" mengatakan masalah kurangnya ruang putar hanyalah masalah teknis.
"Kalau si pembuat film sadar akan pentingnya distribusi, maka tidak ada ruang putar pun akan diada-adakan," kata Ifa.
Menurut Ifa, problem pembuat film pinggiran adalah kurangnya kesadaran distribusi dari para sineas film tersebut. "Seringnya, kita sangat sadar akan produksi tapi tidak sadar soal distribusi. Kalau produksi kita seneng banget, kita suka membuat film bahkan walau gak ada duit, tapi masalahnya, mau diputar di mana? Padahal distribusi adalah hal yang paling susah. Malah digampangkan." Kata Ifa.
Akibatnya, kata Ifa, ada dua kemungkinan yang akan terjadi pada film hasil produksi sineas non-profit, film akan disimpan sendiri tanpa dipertontonkan karena hasilnya jelek. "Atau film-nya bagus banget tapi kemudian sineasnya misuh-misuh sendiri karena gak bisa diputar."
Memikirkan soal distribusi, kata Ifa, seharusnya dilakukan sebelum developmen film. "Sudah harus dipikirkan mau ikut festifal apa, di mana dan diputar di mana. Distribusi bisa dilakukan di banyak platform, selain ikut festival bisa diputar di layar tancap atau online."Totot menambahkan, solusi menghidupkan film pinggiran yang utama adalah mempertemukan film dengan penonton.
Selain itu, pemerintah juga harus memberi dukungan subsidi seperti penghilangan pajak tiket dan pengurangan pajak pengadaan peralatan.
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015