Kami meminta pemerintah meninjau ulang program transmigrasi
Jakarta (ANTARA News) - Walhi mendesak agar pemerintah menghentikan reproduksi pembangunan yang beresiko tinggi bagi lingkungan hidup.
Hari ini, pada 5 Juni 2015, diperingati hari lingkungan hidup di seluruh penjuru dunia.
"Sampai pemerintahan saat ini upaya menjaga pembangunan ekonomi, lapangan kerja dan lainnya masih memanfaatkan eksplorasi alam dalam skala besar," kata Direktur Walhi Abetnego Tarigan di Jakarta, Jumat.
Menurut Abetnego, Walhi sangat mengkhawatirkan dinamika yang berkembang dalam agenda pengelolaan sumber daya alam yang akan dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK, antara lain pembukaan lahan pertanian dalam skala besar seperti yang akan dijalankan di Merauke Papua dan provinsi lain di Indonesia.
Proyek MIFEE seluas 2,5 juta hektar dimulai di era Presiden SBY sampai dengan tahun 2030. Walhi menilai, di era Jokowi proyek tersebut semakin ambisius dengan target 1,2 juta hektar dalam waktu tiga tahun.
"Kami di Walhi terus mendesak bagaimana cara model pembangunan yang diterapkan setidaknya berubah dalam pemerintahan sekarang. Tetapi yang dilakukan pemerintah saat ini justru jauh dari kreatif dan jauh dari solusi, pendekatan yang dilakukan berbasis mega proyek," jelas Abetnego.
Ia mengatakan proyek atas nama krisis pangan dan energi global itu justru membuat rakyat semakin tidak berdaulat memenuhi pangan. Selain tidak menjawab masalah pangan di Indonesia, lanjutnya, proyek pangan dan energi besar-besaran di Merauke akan semakin menghancurkan hutan di Papua.
"Dalam analisis kami, perubahan luasan area moratorium di Papua terus terjadi, hingga mencapai 101.478 hektar dan penurunan terbesar terjadi pada wilayah hutan primer, seluas 407.426 hektar. Proyek ini tidak lebih hanya akal-akalan bagi korporasi untuk mendapatkan tanah secara murah atau modus land banking," jelasnya.
Selain persoalan pangan, Walhi meminta agar pemerintah meninjau ulang program transmigrasi yang akan dijalankan untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa.
"Pemerintah agresif mengkampanyekan transmigrasi yang nantinya membuka kawasan hutan baru. Kami meminta pemerintah meninjau ulang program transmigrasi," kata Abetnego.
"Yang mesti diingat, problem penduduk yang menumpuk di Jawa disebabkan model pembangunan yang selama ini bersifat sentralistik pada satu sisi dan di sisi lain sumber-sumber kehidupan rakyat di pulau lain di Indonesia semakin dikuasai korporasi skala besar," jelasnya.
Walhi juga mengkhawatirkan program pemerintah di sektor energi yang masih mengandalkan energi kotor dan tidak ada upaya sungguh-sungguh beralih ke energi terbarukan.
"Ini ditandai dengan proyek 35.000 MW yang ditenggarai untuk memenuhi kebutuhan listrik, yang sebagian besar akan menggunakan batu bara (energi kotor)," ujar Abetnego.
"Proyek ini juga belum jelas menjawab untuk kepentingan siapa listrik tersebut. Faktanya yang terjadi, prioritas pemenuhan listrik bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan industri ekstraktive, yang memang membutuhkan pasokan energi listrik yang sangat besar," tambahnya.
Pewarta: Monalisa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015