Langsa, Aceh, (ANTARA News) - Lapangan parkir pelabuhan Kuala Langsa, Aceh yang dijadikan lokasi penampungan pengungsi Rohingya dan Bangladesh, sore itu (Rabu, 3/6) , tampak seperti pasar karena ramai dipenuhi orang dari berbagai usia.
Di salah satu sudut, anak-anak bermain ayunan dan perosotan, sementara yang lain bermain komedi putar.
Sesekali terdengar jeritan anak-anak perempuan yang diayun terlalu tinggi rekan-rekannya, dan juga suara tangis anak yang berebutan naik tangga arena permainan.
Tidak jauh dari lokasi permainan anak-anak tersebut, seorang wanita berusia 50-an tahun terlihat berbicara akrab dengan seorang gadis belasan tahun. Tampak mereka saling mencubit pipi dan kemudian berpelukan.
Setelah didekati, ternyata mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda. Sang wanita, yang mengaku bernama Nabawiah, ternyata warga lokal yang rumahnya tidak jauh dari kamp pengungsi.
Sementara lawan bicara, Sajidah Begum (16 tahun), adalah pengungsi etnis Rohingya yang mengaku hidup sebatang kara.
Meski berbicara dalam bahasa yang berbeda, mereka berdua tampak saling mengerti, ibarat seorang ibu dengan anak gadisnya yang bisu.
Dengan mata berkaca-kaca, Nabawiah menceritakan awal perkenalan mereka, yaitu hari yang sama ketika Sajidah dan sekitar 900 pengungsi Rohingya dan Bangladesh diselamatkan oleh nelayan Aceh Timur, pertengahan Mei lalu.
Berita tentang pengungsi dari Myanmar yang Nabawiah pun mengaku tidak tahu di mana letak persis negara itu, segera menyebar di antara warga lokal dan mereka pun berbondong-bondong memberi pertolongan.
Kontak pandangan pertama antara Nabawiah dan Sajidah terjadi saat ia mengintip dari balik kaca untuk melihat kondisi para pengungsi yang ada di bangunan bekas pelelangan ikan.
Begitu pandangan mereka beradu, Sajidah pun langsung menangis histeris dan membuat Nabawiah kebingungan.
"Saya kemudian menyadari bahwa ternyata ia menangis histeris melihat saya yang katanya mirip ibunya," ungkap Nabawiah sambil menahan air mata, sementara mata Sajidah pun sudah tampak berlinang, meski tidak sampai menetes.
Sejak itulah, Nabawiah rutin menemui Sajidah di kamp pengungsian, ibarat seorang ibu yang menjenguk anaknya ke arena perkemahan bersama rombongan sekolah.
"Saya ingin mengadopsi dia menjadi anak saya, tapi saya sadar bahwa itu tidak mungkin karena tidak diizinkan pemerintah dan prosesnya juga pasti sulit," ucapnya.
Karena kendala bahasa, tidak banyak informasi yang bisa digali dari Sajidah, kecuali ketika ia dengan bahasa isyarat mengatakan bahwa kedua orang tuanya terbunuh akibat konflik di negara bagian Rakhine di Myanmar, di mana etnis Rohingya berasal.
Memegang kaki
Nuraida (45 tahun), warga Kuala Langsa lainnya, juga mempunyai pengalaman tersendiri saat pertama kali berhubungan dengan Khalida (15 tahun), seorang remaja Rohingya lainnya.
Setelah mendengar kabar tentang pengungsi Rohingya yang diselamatkan nelayan, Nuraida pun secara spontan membawa bahan makanan dan sayuran sebagai bantuan.
"Waktu pertama kali bertemu, baunya minta ampun, saya hampir tidak bisa makan selama seminggu," kenang Nuraida.
Nuraida menuturkan, saat pertama kali bertemu, Khalida menjerit-jerit sambil memegangi kakinya, seolah-olah ingin diajak pulang ke rumah.
"Saya bingung juga. Dalam hati kecil, saya sebenarnya ingin mengajak dia pulang ke rumah dan merawatnya. Tapi saya takut karena sudah pasti tidak dibolehkan," ujarnya.
Karena baru pertama kali bertemu, Nuraida masih menyimpan perasaan penasaran karena ia belum sempat mengenal lebih jauh Khalida dan ingin memastikan keadaannya.
"Dari tadi saya mencari-cari dia, tapi belum ketemu. Saya ingin tahu lebih jauh ada apa dengan dia sehingga ia sambil menjerit-jerit memegangi kaki saya," imbuh Nuraida yang datang ke kamp pengungsi naik sepeda motor bersama dua anaknya.
Niat tulus untuk tidak hanya sekadar menyelamatkan nyawa pengungsi yang terombang-ambing di laut, juga diperlihatkan oleh Saiful, salah seorang nelayan yang ikut membawa sekitar 900 pengungsi ke darat.
Saiful (35 tahun), warga Kecamatan Langsa Barat, Kabupaten Aceh Timur, juga rutin berkunjung ke kamp pengungsi, sambil mengajak istri dan anak-anaknya.
Banyaknya warga Aceh yang secara spontan mendatangi kamp pengungsi membuat suasana seperti berubah menjadi reuni keluarga, di mana tuan rumah ingin menyenangkan tamunya.
"Memasuki bulan puasa, kami ingin pengungsi dan juga saudara kita sesama Muslim ini bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Kami ini sebenarnya juga urang susah, tapi mereka lebih susah," tukasnya.
Persahabatan antara pengungsi Rohingya dan warga lokal Aceh, terutama Kuala Langsa, juga terjalin di kalangan anak-anak dan komunikasi antara mereka pun berlangsung dalam bahasa anak-anak.
Kondisi yang terjadi membuat sulit untuk membedakan antara anak-anak pengungsi dengan warga lokal, kecuali gelang berwarna merah sebagai identitas pengungsi yang mereka gunakan.
Jeffery Savage, petugas dari UNHCR tidak henti-hentinya menyampaikan kekaguman dan rasa hormat atas ketulusan warga Aceh dalam menolong para pengungsi, terutama etnis Rohingya.
"Sungguh pemandangan yang luar biasa melihat ketulusan dan kehangatan warga Aceh untuk menolong para pengungsi Rohingya ini. Di saat negara lain menolak, orang Aceh justru dengan tangan terbuka menerima dan merangkul mereka," kata Savage yang menjabat sebagai petugas senior Bagian Perlindungan.
Oleh Atman Ahdiat
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015