bau busuk korupsi dan suap selama era Blatter memang sudah lama tercium,

Jakarta (ANTARA News) - Langkah agresif Kejaksaan Agung Amerika Serikat, bukti-bukti baru yang menohok, dan tekanan Eropa dan Amerika Latin --dua kawasan asal para juara dunia FIFA-- telah memaksa Presiden FIFA Sepp Blatter mengenakan lagi baju kebesaran olah raga, yakni "sportivitas", dengan mengundurkan diri padahal empat hari lalu dia didukung mayoritas anggota FIFA.

Presiden Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) Michel Platini pun memuji Blatter. "Itu adalah keputusan yang sulit, keputusan berani, dan keputusan tepat," kata dia seperti dikutip Reuters (3/6).

AS dan Inggris boleh saja dianggap berkomplot menggulingkan Blatter karena kecewa telah gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia. Tapi bau busuk korupsi dan suap selama era Blatter memang sudah lama tercium, bahkan sejak era pertama kekuasaan Blatter. Dan itu semua tak tersentuh siapa pun.

Presiden federasi sepak bola Trinidad dan Tobago Jack Warner yang mengutip untung 1 juta dolar AS dari penjualan tiket Piala Dunia 2006 melalui perusahaan agen perjalanan yang dikelola keluarganya, malah tak diapa-apakan padahal Wakil Presiden FIFA itu jelas telah mengabaikan prinsip fair play karena kolusi dengan keluarganya.

Blatter selalu lolos kendati orang-orang dekatnya terang-terangan korupsi, bahkan pengacara Michael Garcia dari AS mengeluhkan hasil investigasinya mengenai proses tender (bidding) tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 diabaikan FIFA setelah Ketua Komisi Etik FIFA Hans-Joachim Eckert menutup kasus itu.

Garcia pun meninggalkan FIFA November tahun lalu. Enam bulan kemudian, Kamis pekan lalu, Swiss mengumumkan penyelidikan dugaan korupsi proses tender tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 itu.

Dalam konteks ini, kekecewaan AS dan Inggris malah menjadi faktor positif dalam mengoreksi FIFA yang ironisnya telah menjadi role model bagi organisasi-organisasi pengelola sepak bola di banyak negara.

Dunia sendiri telah muak, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Legenda-legenda sepak bola dunia seperti Diego Maradona, Michel Platini dan Luis Figo, hingga para kepala federasi sepak bola modern seperti David Gill dari FA Inggris, jijik terhadap praktik korupsi yang disebut Jaksa Agung AS Loretta Lynch "sistemik" itu.

Sistemik

"Mereka mengorupsi bisnis sepak bola seluruh dunia untuk memperkaya mereka sendiri..dari tahun ke tahun, dari turnamen ke turnamen," kata Lynch seperti dikutip New York Times (27/5).

Lynch meneruskan, "Individu-individu ini terlibat suap untuk menentukan siapa yang akan menayangkan pertandingan-pertandingan; di mana pertandingan-pertandingan harus digelar; dan siapa yang menjadi pengurus organisasi pengelola sepak bola di seluruh dunia."

Dari kalimat Lynch itu tergambar mengenai demikian sistemik, menggurita, mendarah daging dan membudayanya korupsi FIFA sehingga mustahil hanya melibatkan para pejabat Amerika Latin yang ditangkap polisi Swiss Rabu pekan lalu.

Sebaliknya, sangat mungkin para pembesar sepak bola di kawasan-kawasan lain juga terlibat, apalagi Sekjen FIFA Jerome Valcke yang lebih sering berhubungan dengan asosiasi-asosiasi sepak bola nasional, ikut disebut-sebut terlibat dalam suap FIFA pada proses bidding Piala Dunia 2010 untuk Afrika Selatan yang menjadi pusat penyelidikan skandal korupsi FIFA oleh Kejaksaan Agung AS tersebut.

Kejaksaan AS sendiri, seperti diutarakan Kepala Kejaksaan Distrik Timur New York Kelly Curries yang menangani perkara korupsi FIFA, menyebut langkah mereka baru awal. "Kami memburu individu-individu dan entitas-entitas di berbagai negara," kata dia.

Jelas sudah, mereka mengincar baik orang maupun organisasi di seluruh dunia yang tersangkut skandal korupsi FIFA.

Sementara itu, karena sistemik dan transnasionalnya struktur FIFA, Lynch berjanji untuk bekerjasama dengan pihak berwenang di seluruh dunia demi mengadili para pembajak sepak bola.

Reformasi

Swiss adalah yang pertama menjawab dengan membuka penyelidikan proses bidding tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Sedangkan di Argentina, hakim Marcelo Martinez de Giorgi memerintahkan polisi menangkap tiga pengusaha yang terlibat skandal suap FIFA.

Di Brasil, Jaksa Agung Brasil Jose Eduardo Cardozo memerintahkan polisi menginvestigasi tuduhan korupsi dalam industri sepak bola negeri itu setelah Senat pimpinan mantan bintang sepak bola Romario yang kini anggota legislatif, membuka penyelidikan dugaan korupsi pada kontrak-kontrak sepak bola dengan Federasi Sepak Bola Brasil (CBF).

"Pilihannya adalah apakah orang-orang ini semuanya masuk penjara atau mereka terus menghisap darah sepak bola Brasil sampai tetes terakhir," kata Romario sebagaimana dilaporkan Reuters (27/5).

Kini kampanye antikorupsi dan reformasi pada tubuh FIFA beresonansi ke mana-mana, termasuk ke Afrika dan Asia, kendati mungkin lebih sulit dilakukan.

Asia dan Afrika adalah pendukung utama Blatter. Merekalah yang memenangkan Blatter Jumat pekan lalu.

Eropa berusaha "merayu" Asia dan Afrika dengan memasang Pangeran Ali Al Hussein dari Asia, namun karena "kurang vitamin" Pangeran Ali tak didukung kawasannya sendiri.

"Vitamin" atau akses finansial inilah yang dikritik bos federasi sepak bola Inggris (FA) Greg Dyke.

Kepada The Guardian (31/5), Dyke berkata, "Kami (Eropa) tahu kami tidak akan memenangkan pemilihan (Presiden FIFA) karena banyak negara kecil yang mengandalkan FIFA demi alasan finansial semata."

Tapi angin reformasi kini mendadak bertiup kencang lagi.

"Tantangannya tidak hanya mengubah posisi puncak terpilih, namun juga struktur ketatakelolaan pada semua tingkatan dan budaya yang menyangganya," kata Federasi Sepak Bola Australia seperti dikutip AFP.

Sportivitas

Tetapi Blatter sebenarnya telah pula meninggalkan warisan positif bagi sepak bola seperti menghadirkan Piala Dunia di Afrika dan memajukan sepak bola wanita. Sayang, bagai "nila setitik rusak susu sebelanga", pencapaian itu terhapus oleh korupsi sistemik dalam FIFA.

Namun keputusannya untuk mundur adalah langkah sportif yang mengundang pujian dunia, termasuk dari para sponsor FIFA, antara lain McDonald's.

"Tuduhan korupsi dan pertanyaan soal etik dalam FIFA telah menutupi sepak bola dan menjauhkannya dari olah raga, pemain dan penggemar. Kami berharap perubahan yang diimplemantasikan FIFA akan menjadi langkah besar pertama dalam mereformasi organisasi ini dan meraih kembali kepercayaan penggemar seluruh dunia," kata McDonald's seperti dikutip Bloomberg.

Kendati ada yang meragukan keputusan mundurnya, Blatter mengajarkan satu hal penting, yakni mundur tanpa harus menunggu menjadi tersangka apalagi terdakwa dan tervonis. Dan itulah salah satu nilai tertinggi sepak bola dan olah raga; sportivitas.

Blatter kembali ke pangkuan sportivitas dengan mundur jauh sebelum kasus skandal korupsi membuatnya terperiksa sekali pun.

Itulah teladan lain bagi siapa pun yang mengelola organisasi sepak bola dan olah raga, karena tanpa sportivitas, jangan harap olah raga maju menuai kejayaan di altar krida dunia.

Pelajaran lain bagi dunia, termasuk Indonesia, adalah keharusan mendapatkan informasi yang akuntabel dan transparan mengenai pilihan-pilihan yang akan dibuat penyelenggara sepak bolanya menyangkut keputusan-keputusan FIFA dan organisasi kawasan di bawahnya.

Yang juga tak boleh dilupakan adalah memperkarakan praktik-praktik tidak senonoh dalam sepak bola, seperti suap dan pengaturan skor, serta menuntut transparansi apa pun menyangkut segala keputusan yang berkaitan dengan sepak bola.

Jika sistem penegakan hukum Brasil dan Argentina saja berani terjun meluruskan jalan salah pada industri sepak bolanya, sistem hukum lainnya termasuk Indonesia, seharusnya menempuh langkah serupa ketika terjadi praktik-praktik menyimpang dan kriminal dalam sepak bola.


Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015