Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengatakan gerak maju ISIS membuktikan kegagalan masyarakat global.
Pertemuan 20 menteri koalisi anti-ISIS ini menambahkan urgensi menyusul serangan bom bunuh diri ke sebuah kantor polisi Irak yang menewaskan paling sedikit 37 orang dan memperlambat operasi merebut kembali kota Ramadi di dekat Baghdad.
Pertemuan itu akan didominasi pembahasan merebut kembali Ramadi di mana Abadi akan menerangkan rencana pemerintah Irak dan apa yang bisa dibantu mitra-mitra koalisinya.
"Ini bukan pertemuan biasa-biasa," kata seorang pejabat senior melalui telekonferensi. "Kami ke sini untuk berbicara dengan Abadi mengenai rencana dia membebaskan Ramadi dan Provinsi Anbar."
Beberapa jam sebelum pertemuan itu, Abadi menekankan bahwa ISIS bukan hanya masalah Irak dan Suriah, namun juga masalah dunia.
"Arus pejuang asing lebih banyak dari sebelum ini," kata dia kepada wartawan di Paris. "Ada masalah internasional, ini harus diatasi."
Menurut dia, enam dari setiap 10 laskar ISIS adalah orang Irak dan sisanya orang asing, yang kini porsinya berbalik lebih banyak.
"Daesh (ISIS) tengah membentuk generasi baru petempur yang berdediasi dan teridelogisasi. Mereka siap mati namun mereka bukan pembom bunuh diri," kata Abadi.
Dia melanjutkan, komunitas internasional harus menjelaskan mengapa begitu banyak teroris berasal dari Arab Saudi, mengapa begitu banyak dari (Negara-negara) Teluk, mengapa begitu banyak dari Mesir, mengapa begitu banyak dari Suriah, dan Turki, dan dari negara-negara Eropa?"
Abadi dengan harap-harap cemas meminta dunia mendukung upaya Irak memenangkan peperangan menghadapi ISIS dan merebut kembali Ramadi.
"Ada kesenjangan intelijen yang berusaha keras kami atasi, namun ini (ISIS) adalah organisasi transnasional," tegas Abadi.
"Perlu dukungan dunia, kami tidak banyak mendapatkan dukungan itu. Saya kira ini sebagian karena kegagalan dunia. Ada banyak dukungan untuk Irak, namun bukti di lapangan sangat kecil."
Dia mengatakan Baghdad memerlukan senjata dan amunisi untuk memerangi ISIS, padahal kebanyakan kontrak senjata Irak diperoleh dari Rusia atau Iran yang keduanya disanksi Barat.
"Kami tidak meminta senjata, namun tolong biarkan kami membeli senjata dengan mudah," kata dia seperti dikutip AFP.
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015