Damaskus (ANTARA News) - Muhannad Samih, pedagang jalanan berusia 14 tahun, bukan hanya putus sekolah untuk mencari nafkah, tapi juga kehilangan sebagian besar masa kanak-kanaknya yang tak tergantikan, dan akan kehilangan masa remajanya pula jika krisis Suriah tidak segera berakhir.
"Saya sudah lama tidak sekolah, karena saya mau menjadi lelaki yang mencari nafkah untuk orangtua dan saudara-saudara perempuan saya. Saya tidak punya waktu untuk permainan anak-anak atau romantika remaja," katanya.
Samih mengatakan ia putus sekolah ketika enam anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kerusuhan di Provinsi Daraa, Suriah Selatan, dan mencari kehidupan di Damaskus, ibu kota Suriah.
Dengan satu ember bunga mawar merah terikat di pinggang, Samil menelusuri daerah pasar kuno Hamidiyeh di Damaskus, "memburu sejoli kekasih" dan berbicara manis dengan mereka agar mau membeli dagangannya.
"Saya tahu cara membuat malu seorang lelaki di depan teman perempuan atau tunangannya agar membeli bunga dari saya," kata remaja itu kepada kantor berita Xinhua.
Tapi senyumnya memudar ketika ia mengatakan ia tak punya waktu untuk mengejar hobinya atau mencari pacar.
"Saya merasa saya tumbuh makin tua cepat sekali. Saya tak punya waktu untuk bermain; saya bahkan tidak ingin bermain-main atau punya pacar. Saya jauh dari itu karena saya lelaki yang memikul tanggung-jawab sekarang," kata Samih.
Ia mengenakan baju lengan panjang, kaus hitam yang dimasukkan ke celana jin lusuh dan sandal jepit plastik.
Tapi dia memakai cincin perak palsu di jari manisnya, meniru orang-orang dewasa yang setiap hari ia lihat pasar tempatnya berjualan. Ia bahkan berbicara dan berjalan seperti seorang lelaki dewasa.
"Saya satu-satunya pencari nafkah di keluarga saya, sebab ayah saya sakit dan saya cuma memiliki saudara perempuan, tanpa saudara lelaki untuk ikut memikul tanggung-jawab bersama saya," katanya.
Samih mengatakan ia tidak berpikir untuk bersekolah lagi.
"Saya kira saya tidak akan kembali ke sekolah. Saya merasa lebih tua untuk itu, tapi saya kasih tahu, saya bermimpi membuka toko di masa depan," katanya serta menambahkan, pekerjaannya adalah satu-satunya yang ada dibenaknya.
Samih adalah satu dari ribuan anak dan remaja, yang mimpi dan harapannya dicuri oleh konflik empat tahun di negeri mereka.
Mazen Tammam, siswa sekolah berusia 11 tahun, mengatakan dia bagus di sekolah tapi kini terdorong jauh dari mimpinya untuk menjadi dokter.
"Saya kerja di restoran sore hari dan koki mendapat bayaran bagus dan itulah yang menjadi fokus saya sekarang. Saya ingin mendapat bayaran bagus untuk membantu keluarga," kata Tammam, wajahnya terlihat tegas dengan dua garis di keing, tepat di antara dua matanya.
"Ayah saya punya masalah jantung, yang mencegahnya punya pekerjaan kedua dan saya berusaha membantu sebisa saya," katanya serta menambahkan bahwa dia dan kedua saudaranya punya pekerjaan-pekerjaan berbeda pada sore hari untuk membantu meringankan beban keluarga.
Bahkan orangtua-orangtua yang punya anak pun kesusahan menyediakan kebutuhan untuk bisa hidup senormal mungkin.
"Saya berusaha keras untuk memberikan atmosfer normal bagi anak-anak saya, tapi itu misi yang tidak mungkin," kata Adnan, ayah dari tiga anak.
"Saya bisa membawa mereka ke restoran dan taman-taman hiburan, tapi tidak seperti yang saya lakukan waktu saya kecil," katanya.
"Saya memikirkan banyak hal sebelum membawa anak perempuan saya yang berusia tiga tahun ke taman karena takut kena serangan mortir."
Begitulah kondisi banyak anak di daerah-daerah yang dikuasai pemerintah. Mereka yang hidup di wilayah yang dikuasai gerilyawan fanatik bahkan menghadapi tantangan yang lebih berat lagi, terutama karena mereka terpaksa harus mengangkat senjata. (Uu.C003)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015