"Data produk domestik bruto (PDB) kuartal pertama AS yang negatif menjadi salah satu penekan mata uangnya," kata Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta.
Ia mengemukakan bahwa pengukutan PDB kuartal pertama direvisi menjadi minus 0,7 persen, dibandingkan pengukuran sebelumnya 0,2 persen. Selain itu, meski belanja konsumen AS di kuartal pertama tercatat naik 1,8 persen, namun kenaikannya masih di bawah rata-rata 2,4 persen sejak 2010.
"Belanja konsumen merupakan faktor krusial bagi ekonomi AS, jika tidak menunjukkan peningkatan kemungkinan besar laju pertumbuhan ekonomi AS belum akan berakselerasi," katanya.
Kendati demikian, menurut dia, potensi pemulihan ekonomi AS masih terbuka menyusul data ekonomi lainnya yang menunjukkan pemulihan. Jika dikombinasikan dengan inflasi inti maka ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed masih terbuka lebar.
Sementara itu, Analis PT Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong mengatakan bahwa penguatan mata uang rupiah terhadap dolar AS diperkirakan hanya bersifat jangka pendek menyusul sentimen dari dalam negeri mengenai data inflasi Indonesia periode Mei yang lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi pada Mei 2015 sebesar 0,5 persen atau tertinggi dalam tujuh tahun terakhir dalam bulan yang sama, yang dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan.
"Angka inflasi yang tinggi bisa menahan penguatan rupiah lebih lanjut, sehingga tekanan mata uang rupiah masih dapat terjadi," katanya.
Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Senin (1/6) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah menjadi Rp13.230 dibandingkan hari sebelumnya (29/5) Rp13.211.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015