Jakarta (ANTARA News) - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkapkan curahan hatinya dalam sidang praperadilan atas penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pada 1 Mei 2015.
Pernyataan Novel yang dibacakan sebagai pengantar dalam permohonan praperadilan tersebut, di antaranya berisi keprihatinannya terhadap penangkapan yang dilakukan pada tengah malam.
"Mengapa tengah malam? Telepon saja saya akan datang. Itu kata saya saat menemui tim penyidik yang menangkap saya pada tanggal 1 Mei 2015, sekitar pukul 00.00 WIB," tuturnya dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat.
Bukan hanya rumah yang selalu terbuka, katanya, telepon seluler miliknya juga selalu tersedia dihubungi oleh siapapun. Bahkan sekitar tanggal 29 April ketika seorang penyidik mengirim pesan pendek (BBM) menanyakan kabar dan posisinya ia pun menjawab: "kabar baik, saya sedang tugas di Palembang".
Sebagai seorang penegak hukum yang pernah mengabdi di kepolisian lalu ditugaskan menjadi pegawai tetap KPK, Novel mengaku bahwa ia selalu didoktrin untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya, menegakkan hukum bukan karena kebencian, menegakkan hukum bukan karena dendam, dan menegakkan hukum bukan karena mengejar popularitas.
Ringkasnya, menegakkan hukum semata-mata karena alasan hukum, bukan alasan nonhukum.
"Ketika hukum ditegakkan dengan alasan lain, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan dan ketidakprofesionalan. Lalu, siapa yang menerima manfaat? Tidak tahu. Yang pasti baik KPK maupun kepolisian tidak menerima manfaat apapun," tuturnya, menegaskan.
Pria kelahiran Semarang, 38 tahun silam itu juga mengungkapkan kegundahan hatinya atas tindakan aparat negara, dalam hal ini pihak Bareskrim Polri, yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat justru melakukan kebohongan demi kebohongan.
"Salah satu kebohongan yang diucapkan oleh Kabareskrim adalah saya memiliki empat rumah. Seolah-olah saya adalah seorang pegawai negeri yang memiliki harta melimpah," tutur Novel.
Terhadap tuduhan tersebut, ujarnya, ia sudah melakukan klarifikasi bahwa ada dua rumah dengan atas namanya, namun satu rumah lainnya adalah milik ibunya, meskipun tertulis di dalam sertifikat atas namanya.
"Karena Kabareskrim tetap yakin bahwa saya memiliki empat rumah, maka sekali lagi saya sampaikan bahwa silakan diambil dua rumah yang saya tidak merasa miliki," ujarnya.
Dasar Praperadilan
Terkait dengan permohonan praperadilan yang diajukannya, pria yang lulus dari Akademi Kepolisian pada 1998 itu menjelaskan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa penangkapan dan penahanan merupakan kewenangan penyidik, tetapi harus sesuai ketentuan dalam hukum acara pidana dan prosedur internal penyidik sendiri.
Sedangkan dalam pelaksanaannya, penyidik melakukan kewenangannya tersebut secara melanggar ketentuan hukum acara pidana maupun prosedur internal penyidik sendiri.
"Akibat yang tidak terhindarkan adalah kerugian pada diri saya baik secara materiil maupun immaterial," papar Novel, menjelaskan.
Selain itu, di atas kepentingan pribadi, fokus perhatian Novel adalah tentang kewibawaan lembaga penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.
"Saya ingin menjadikan peristiwa penangkapan dan penahanan diri saya menjadi momentum untuk mengoreksi kinerja kepolisian sehingga menjadi pintu masuk untuk meningkatkan kredibilitas kepolisian itu sendiri," kata pria yang sudah bekerja di KPK sejak 2007 itu.
Karena menilai adanya kesalahan prosedur dalam penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim, maka Novel Baswedan meminta hakim praperadilan memutuskan tidak sah penangkapan berdasarkan surat perintah penangkapan tertanggal 24 April 2015 dan penahanan berdasarkan surat perintah penahanan tertanggal 1 Mei 2015.
Selain itu, melalui upaya praperadilan yang ditempuhnya, Novel juga menuntut pihak Bareskrim Polri melakukan audit kinerja penyidik dalam penanganan kasusnya.
Novel juga meminta hakim praperadilan memerintahkan pihak Bareskrim Polri meminta maaf kepada dirinya dan keluarga melalui pemasangan baliho yang menghadap ke jalan di depan kantor Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, selama tiga hari berturut-turut.
Dalam sidang yang dipimpin oleh hakim tunggal Suhairi itu, Novel Baswedan hadir didampingi tim kuasa hukumnya yaitu Bahrain, Asfinawati, Muji Kartika Rahayu, Julius Ibrani, dan Febi Yonesta.
Proses hukum terhadap Novel dimulai sejak Jumat (1/5) pagi yaitu sekitar pukul 00.30 WIB Novel dijemput paksa oleh penyidik Bareskrim Polri untuk dibawa ke Bareskrim.
Dalam perkara ini, Novel diduga keras melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 Ayat 2 KUHP dan atau pasal 422 KUHP Jo Pasal 52 KUHP yang terjadi di Pantai Panjang Ujung Kota Bengkulu tanggal 18 Februari 2004 atas nama pelapor Yogi Hariyanto.
Novel Baswedan dituduh pernah melakukan penembakan yang menyebabkan tewasnya Mulyadi Jawani alias Aan pada 2004.
Pada Februari 2004, Polres Bengkulu menangkap enam pencuri sarang walet, setelah dibawa ke kantor polisi dan diinterogasi di pantai, keenamnya ditembak sehingga satu orang yakni Mulyadi Jawani, tewas.
Pewarta: Yashinta Difa P.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015