Kami mengecam sikap dan pernyataan Jaksa Agung yang menolak melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM beratJakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras menolak rencana rekonsiliasi kasus HAM berat karena bukan solusi efektif.
"Kami mengecam sikap dan pernyataan Jaksa Agung yang menolak melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu," kata Koordinator Kontras Haris Azhar di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, rekonsiliasi itu juga sama saja tidak menghargai kinerja Komisioner Komnas HAM sebelumnya yang telah memiliki bukti adanya pelanggaran HAM berat.
Langkah rekonsiliasi itu, katanya, sama saja dengan memudahkan masalah, padahal kasus tersebut harus diusut tuntas dan para pelaku dibawa ke Pengadilan HAM maupun Pengadilan HAM "ad hoc".
Karena itu, Kontras menuntut Presiden Jokowi berani mengeluarkan keputusan presiden untuk membentuk Pengadilan HAM "ad hoc" dan mengeluarkan instruksi presiden kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Ia juga mengatakan, Kontras meminta Jaksa Agung untuk menjalankan fungsinya melakukan penyidikan atas kasus-kasus tersebut seperti diatur dalam Pasal 21 UU No 26. Tahun 2000.
Kejaksaan Agung menilai rekonsiliasi merupakan salah satu opsi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat mengingat kasusnya sudah berlangsung lama.
"Karena itu, seperti kasus 1965, saksi sulit dicari, buktinya juga seperti itu, maka kami tawarkan untuk diselesaikan pendekatan non yudisial, penyelesaian di luar jalur proses hukum, melalui pendekatan rekonsiliasi," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta, Jumat (22/5).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.
Enam kasus pelanggaran HAM berat lainnya adalah peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015