Jakarta (ANTARA News) - Mantan Kepala BP Migas Raden Priyono mengatakan pihaknya tidak menyalahi aturan dalam penunjukkan langsung PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) oleh BP Migas terkait penjualan kondensat bagian negara periode 2009-2010.
"Saya jelaskan (ke penyidik) wewenang dan tugas pokok fungsi Kepala BP Migas, bagaimana saya mengikuti peraturan dan kebijakan pemerintah," kata Priyono usai menjalani pemeriksaan, di Gedung Bareskrim, Jakarta, Rabu (20/5) malam.
Meski demikian, pihaknya tidak menjelaskan secara rinci kebijakan pemerintah tersebut.
Sementara kuasa hukum Priyono, Supriyadi Adi menegaskan bahwa pemeriksaan kliennya tersebut bukan dalam status sebagai tersangka, melainkan sebagai saksi kasus tersebut. "Di media, isunya sudah sebagai tersangka, tadi saya klarifikasi ke penyidik. Penyidik bilang statusnya diperiksa sebagai saksi," imbuh Supriyadi.
Pada Rabu (20/5), Priyono dengan didampingi dua orang kuasa hukumnya menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri selama 10 jam. Ia diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang dalam penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan SKK Migas dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI).
Dalam kasus ini, penyidik sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka yakni RP, HW dan DH. RP disebut-sebut adalah Raden Priyono yang merupakan mantan Kepala BP Migas.
Kasus ini bermula dari penunjukan langsung SKK Migas terhadap PT TPPI terkait penjualan kondensat pada kurun waktu 2009-2010.
Tindakan ini menyalahi peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondesat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjualan Minyak Mentah Bagian Negara.
"Ini melanggar ketentuan Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan atau Pasal 3 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2002 Tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara," papar Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor E. Simanjuntak.
Akibat kasus ini, diperkirakan negara dirugikan sebesar 156 juta dolar AS atau Rp2 triliun.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015