Jakarta (ANTARA News) - Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiga tahun lalu disambut gegap gempita oleh masyarakat. Rakyat yang sudah bosan dan putus asa terhadap penegakan hukum yang melempem terhadap koruptor, berharap banyak terhadap lembaga baru anti korupsi itu. Gebrakan awal KPK sungguh membesarkan hati. Penangkapan dan pemeriksaan terhadap sejumlah koruptor, termasuk penyergapan terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W Kusumah, diacungi jempol. Sejumlah mantan menteri, gubernur dan bupati, juga diperiksa dan diadili. KPK di garda depan menyikat koruptor-koruptor, si musuh rakyat. Tapi mengapa setelah tiga tahun malang melintang menumpas tindak pidana korupsi, banyak pihak yang menilai kinerja lembaga yang dipimpin Taufiqurahman Ruki itu belum memuaskan? Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbun menilai dari sisi penindakan maupun pencegahan, KPK tidak bekerja maksimal. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritik pedas KPK. Untuk mencari jawaban terhadap semua itu, KPK awal pekan ini selama tiga hari penuh mengundang sejumlah kalangan dari mulai cendikiawan, tokoh agama, pimpinan LSM dan pemimpin redaksi, untuk memberikan sumbang saran. Kamis malam (28/12) giliran tokoh NU Solahudin Wahid, Ketua ICW Teten Masduki, Pemimpin Redaksi Tempo Toriq Hadad dan saya sebagai Wakil Pemimpin Redaksi LKBN Antara, memberikan masukan. Di hadapan pimpinan KPK, saya tegaskan bahwa rakyat menaruh harapan sangat tinggi terhadap KPK, namun KPK belum bisa memenuhi harapan itu, sehingga sebagian rakyat tidak puas dan boleh jadi ada yang kecewa. "Ini ibarat kasih tak sampai. Kalau tidak direspon, rakyat bisa frustasi terhadap KPK," kata kolega saya, Toriq Hadad. Mari kita lihat statistik. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan cukup luas mendekati "superbody", KPK baru mampu menyelesaikan kasus korupsi sebanyak 26 kasus. Kinerja KPK juga tidak sebanding dengan besarnya anggaran yang diterima lembaga itu. Selama 2006, KPK telah mengembalikan uang negara sebesar Rp14 miliar. Selain itu KPK juga menyita barang, denda, dan uang pengganti sebesar Rp25,7 miliar. Namun jumlah itu tidaklah sebanding dengan anggaran KPK 2006 yang mencapai Rp225 miliar. "Kalau uang operasional KPK lebih banyak keluar ketimbang uang negara yang diselamatkan, kita perlu bertanya untuk apa sebenarnya kita memberantas korupsi?" Teten Masduki mempertanyakan. Tebang pilih Kasus tebang pilih KPK juga dipertanyakan Gus Sholah. Selama ini, KPK berhasil memeriksa dan memenjarakan orang-orang KPU, yang kebanyakan adalah dari kalangan ilmuwan yang awam dalam birokrasi dan tidak pandai melakukan korupsi. Sementara koruptor sejati, yang pandai mengutak-atik prosedur dan laporan keuangan, masih belum tersentuh. "Memang masih lebih baik KPK melakukan tebang pilih ketimbang tidak menebang sama sekali," gurau adik mantan Presiden Abdurahman Wahid itu. Oke, KPK telah memeriksa mantan menteri dan sejumlah gubernur dan bupati, tapi masyarakat menuntut lebih dari itu. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengumumkan akan memulai pemberantasan korupsi dari Istana, seharusnya KPK berani memeriksa menteri anggota kabinet aktif yang diduga terlibat korupsi. Kalau itu tidak dilakukan, rakyat akan percaya di negeri ini masih ada yang kebal hukum dan KPK tidak berdaya. Di pihak lain, KPK harus diakui telah berhasil membuat orang takut korupsi. Demam anti korupsi menguat dan masyarakat sudah berani melaporkan tindak pidana korupsi. Sampai saat ini, KPK telah menerima sebanyak 15.861 laporan masyarakat. Dari jumlah itu, 96 persen sudah ditelaah. Sebanyak 3000 laporan diindikasikan mengandung unsur korupsi. Sebanyak 223 laporan ditindaklanjuti KPK, sisanya ditangani polisi dan kejaksaan. Serangan balik Justru keberhasilan membuat orang takut korupsi itu yang menjadi dasar adanya serangan balik ("blowback") terhadap KPK. Ada pihak yang menuding KPK sebagai biang keladi macetnya pertumbuhan ekonomi dan tidak terserapnya dengan baik dana-dana APBN/APBD karena pejabat di Pusat dan Daerah tidak mau jadi pimpinan proyek. Bank-bank takut mengucurkan kredit, karena jika kredit macet bisa membawa para bankir ke penjara atau diperiksa KPK. Akibatnya uang bank yang berlimpah-ruah terparkir di Bank Indonesia. Saat ini dana masyarakat yang diparkir dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp200 triliun. Sebanyak Rp50 triliun di antaranya adalah uang Pemda-Pemda yang semestinya untuk pelaksanaan proyek-proyek. Wakil Presiden Jusuf Kalla telah meminta agar pemberantasan korupsi tidak menyebabkan para birokrat takut menjalankan program pembangunan. Kalla mengatakan banyak pejabat di daerah takut menjalankan proyek karena khawatir akan tuduhan korupsi. KPK harus bisa mengatasi kritikan dan serangan balik semacam itu. Kalau tidak, orang akan terbawa kepada kesan bahwa KPK memang menghambat pembangunan. Dengan karya dan PR yang baik, KPK harus bisa meyakinkan rakyat bahwa bukan pemberantasan korupsi yang membuat ekonomi terganggu karena birokrat takut bekerja. KPK harus membuktikan bahwa justru perekonomian negara baru bisa berjalan lancar bila birokrasinya sudah bersih dari korupsi. Pimpinan KPK perlu menjelaskan bahwa korupsi itu menghambat pembangunan dan menghambat perkembangan kegiatan usaha di Indonesia. Korupsi telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Harga jual barang dan jasa di Indonesia menjadi tinggi karena adanya budaya "mark up". Seperti ditulis dalam "Buku Panduan untuk Mengenali dan Memberantas Korupsi" yang diterbitkan KPK, investasi yang diperlukan untuk meningkatkan kegiatan usaha menjadi amat mahal, sebab setiap proses ekonomi harus melewati pintu yang namanya korupsi.(*)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006