Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung tetap meyakini aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir meninggal dunia karena dibunuh. "Polly bilang ia yakin Munir tidak dibunuh. Kejaksaan Agung yakin Munir dibunuh, dia diracun," kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat siang. Dalam kasus meninggalnya Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto adalah pilot maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang ikut dalam penerbangan yang sama dengan aktivis HAM itu, namun bukan sebagai pilot. Munir meninggal dalam penerbangan ke Belanda. Rencananya ia akan menempuh studi S2 tentang pengkajian HAM. "Dokter Belanda bilang ada racun arsenik dalam jumlah sangat besar yang dapat mengakibatkan orang mati. Persoalannya, ada racun dalam tubuh, kenapa minum? Menurut kita, dia tidak minum, tapi diracun," kata Jaksa Agung. Pendapat Kejaksaan, menurut Jaksa Agung, disepakati oleh pengadilan tingkat pertama (PN Jakarta Pusat) dan pengadilan tingkat lanjutan (Pengadilan Tinggi DKI Jakarta) yang memutuskan Polly bersalah dan menghukum dia dengan pidana 14 tahun penjara. Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), dakwaan pertama untuk pembunuhan Munir tidak terbukti, melainkan dakwaan kedua untuk pemalsuan surat bepergian dan hukuman tersebut turun menjadi dua tahun. "MA membatalkan itu, menganggap dia hanya memalsu surat. Pertanyaan selanjutnya, kenapa dia memalsu surat?," kata Arman, demikian Jaksa Agung biasa disapa. Dalam kasus Munir, Jaksa Agung menilai banyak hal-hal yang tidak logis dan pihaknya bersama kepolisian memiliki komitmen yang sama untuk menyelesaikan perkara tersebut. "Kita kejar terus, sekarang tim sedang di Amerika meneliti SMS-SMS yang berjalan," kata dia. Disinggung mengenai kemungkinan cekal bagi Polly yang telah bebas dari LP Cipinang akibat remisi Natal dan remisi susulan pada 25 Desember lalu, Jaksa Agung menyatakan, pihaknya belum menemukan alasan untuk mencekal mantan pilot Garuda tersebut. "Kalau kita temukan, pasti kita kejar terus," katanya. Terkait belum tuntasnya perkara pembunuhan Munir, Jaksa Agung mengaku malu bila kasus itu tidak terbongkar. (*)
Copyright © ANTARA 2006