Jakarta (ANTARA News) - Kubu Golkar pimpinan Agung Laksono sudah mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang pembatalan Surat Keputusan Menkumham mengenai pengesahan kepengurusan Partai Golkar versi musyarawah nasional (munas) Ancol.
"Kami sebagai tergugat intervensi juga hadir di sini untuk menyampaikan bahwa kami partai Golkar dari kubu Pak Agung Laksono, 15 menit setelah dibacakan putusan PTUN kemarin sudah mengajukan banding, sudah kami daftar, sudah kami bayar sesuai dengan persyaratan yang ada," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) bidang Hukum Partai Golkar kubu Agung Laksono, Laurens Siburian di gedung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jakarta, Selasa.
Hadir dalam konferensi pers itu Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kemenkumham Ferdinand Siagian yang juga menyatakan bahwa Kemenkumham mengajukan banding atas putusan PTUN tersebut.
"Artinya putusan PTUN kemarin usianya hanya 15 menit saja, jadi sudah tidak bisa dilaksanakan lagi dan oleh karena itu hanya dalam tempo 15 menit kita sudah selesai menyatakan banding dan akta permohonan banding sudah ada di tangan saya dan sudah resmi kami nyatakan banding," ungkap Laurens.
Laurens juga mengungkapkan sejumlah hal yang ia nilai janggal dalam putusan tersebut.
"Pertama adalah dikatakan bahwa dengan putusan yang meminta Menteri mencabut Surat Pengesahan susunan kepengurusan Pak Agung Laksono maka dengan demikian surat keputusan Surat Keputusan Menteri hasil Munas 2009 yang berlaku. Saya kira itu keliru karena objek yang diadili adalah SK Menteri 23 Maret 2015 hanya itu saja, jadi hakim tidak punya kewenangan untuk menyatakan bahwa SK itu dicabut dan otomatis SK 2009 diberlakukan," kata Laurens.
Menurut Laurens, Mahkamah Partai Golkar sudah menyidangkankan perselisihan antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Bahkan sebelumnya juga dua putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Januari 2015 dan putusan PN Jakarta Barat pada Februari 2015 yang mengatakan tidak berkompeten mengadili dan diserahkan ke Mahkamah Partai.
"Jadi ada banyak event baik putusan PN maupun sidang Mahkamah Partai sehingga tidak ada dasarnya perintah mencabut SK Menteri 23 Maret 2005 dan berarti SK Menteri 2009 tentang Munas Riau dinyatakan berlaku, itu tidak ada dasarnya sama sekali," tambah Laurens.
Kejanggalan kedua, menurut Laurens adalah dalam pertimbangan hukum, hakim membicarakan mengenai pilkada padahal di antara para tergugat dan penggugat tidak ada yang membicarakan tentang pilkada.
"Jadi di sini hakim memutuskan ultra petita, artinya hakim memutus sesuatu yang melampaui sesuatu yang diminta oleh para pihak. Hakim juga meminta Prof Muladi hadir memberikan keterangan mengenai apa yang terjadi dalam Mahkamah Partai, kemudian Prof Muladi sebagai ketua Mahkamah Partai tidak hadir tapi menjawab secara tertulis dan jawaban tertulis itu dikesampingkan dan tidak dipertimbangkan sama sekali, itu juga tanda tanya bagi kami," ungkap Laurens.
Selanjutnya, berdasar Undang-undang Partai Politik No 2 tahun 2011 pasal 32 ayat (5) menyatakan Putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat sepanjang menyangkut perselisihan kepengurusan.
"Hakim menyatakan dia bisa menilai dan menerobos putusan yang final dan mengikat ini, menurut kami sangat janggal karena UU sudah mengatur, kecuali UU itu diubah, dan hakim tidak berwenang untuk mengubah UU itu, yang berwenang mengubah itu adalah hakim MK, itu juga kalau ada yang mengajukan permohonan di MK," jelas Laurens.
Terakhir adalah pertimbangan yang menyatakan bahwa Menkumham mengeluarkan SK padahal para pihak sedang bersengketa.
"Ini menurut saya keterlaluan. Memang ada sengketa, tapi sengketa itu sudah diselesaikan di Mahkamah Partai. Sudah ada persidangan, pemohonnya Pak Agung Laksono, termohonnya Pak Agung Laksono dan kawan-kawan. Ada persidangan, mereka hadir, ada saksi dan bukti yang diajukan masing-masing pihak, kemudian sengketa itu diputus dan putusan sudah final dan mengikat sepanjang menyangkut kepengurusan. Jadi sudah selesai," tambah Laurens.
Karena sudah ada putusan dari Mahkamah Partai, maka kubu Agung Laksono menurut Laurens menyampaikan ke Menkumham.
"Jadi kita membela Menkumham karena sedang berkaitan erat dengan kita. Menteri yang digugat tapi kepentingan kita yang terkait langsung jadi kita masuk ke dalamnya. Dan posisi kita adalah membantu membela Menkumham tentu dari sisi pertimbangan-pertimbangan dan fakta-fakta hukum yang kita miliki," ungkap Laurens.
Ini adalah kali kedua Kemenkumham kalah terkait sengketa partai di PTUN.
Sebelumnya pada 25 Februari 2015, hakim PTUN yang sama yaitu Teguh Satya Bhakti juga memenangkan gugatannya kubu Suryadharma dalam sengketa Partai Persatuan Pembangunan yang menggugat keputusan Menkumham Nomor M.HH.07.11.01 tahun 2014 tentang pengesahan perubahan kepengurusan DPP PPP pada 28 Oktober 2014.
Keputusan Menkumham itu menyatakan bahwa Ketua Umum PPP adalah M Romahurmuziy yang merupakan hasil Muktamar VIII PPP di Surabaya, Jawa Timur. Namun, hakim PTUN memenangkan gugatan Suryadharma yang membatalkan keputusan Menkumham tentang perubahan pengurusan DPP PPP itu.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015