"Melalui acara Merti Gunung, intinya ingin memuliakan dan mendoakan para korban maha pralaya 1.000 tahun yang lalu, agar dosa-dosa mereka bisa diampuni dan diterima masuk ke nirwana. Karena ada kemungkinan sampai saat ini belum ada acara yang mendoakan para arwah yang mengembara akibat maha pralaya itu," kata Koordinator Bentara Budaya Yogyakarta Hermanu dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Magelang, Senin.
Rangkaian acara tradisi, seni, dan budaya "Merti Gunung" itu diawali dengan Pameran Foto Mahameru di BBY pada 19-30 Mei 2015. Berbagai foto yang dipamerkan, antara lain berupa artefak candi yang terkubur oleh lava Gunung Merapi dan Sindoro, seperti Candi Sambisari, Candi Kimpulan, Candi Liyanan, serta sejumlah foto kuno tentang penemuan situs candi yang masih berantakan akibat letusan gunung dan gempa bumi.
Pembukaan pameran karya sejumlah fotografer, seperti Dwi Oblo, Ferganata Indra Riatmoko, Pamungkas, dan berbagai foto bersumber dari buku Tanah Air Kita (1950) serta Bergenweelde (1928) itu, juga dimeriahkan dengan sendratari "Jamur Dipa" oleh Kelompok Tari Laras Kusuma pimpinan Cahyaning Widodari berasal dari Daratan III, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, DIY.
Pada Minggu (24/5) pagi hingga malam hari, di Omah Petroek, Karangkletak, Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, di kawasan Gunung Merapi, digelar antara lain tarian Jatilan Turonggo Seto (Manding, Bantul), ritual "Merti Gunung" melalui sendratari "Gadhung Mlathi" oleh Kelompok Tari Laras Kusuma, dan wayang kulit "Dumadining Gunung Merapi" dengan dalang Ki Nugroho Wisnumurti (Srandakan, Bantul).
Ia mengatakan sejak zaman purba sampai saat ini, manusia sudah berinteraksi dengan alam, terutama gunung berapi.
"Suka dan duka menetap di sekitar gunung berapi merupakan pilihan yang dilakukan nenek moyang kita," katanya.
Manusia, katanya, berusaha berdamai dengan alam dengan memujanya sehingga banyak jumpai upacara tradisi dari berbagai bangsa untuk memberi sesaji atau labuhan kepada gunung berapi agar tidak meletus.
Ia menjelaskan tentang sebutan "mahameru" atau gunung yang agung sebagai salah satu dari banyak nama untuk menghormati gunung api yang masih aktif.
Pada zaman Hindu, katanya, nama mahameru biasanya digunakan untuk menyebut nama gunung agung di sekitar masyarakat tradisional, seperti Gunung Semeru di Jawa Timur, Gunung Merapi di Jawa Tengah, atau Gunung Bromo di Tengger, Jawa Timur.
"Pada prinsipnya, setiap masyarakat yang hidup di lereng dan sekitar gunung berapi akan menganggap bahwa gunung tersebut merupakan mahameru, yang merupakan kayangan dan tempat para dewa bersemayam. Maka setiap tahun mereka akan mempersembahkan sesaji dan dikirim ke puncaknya," katanya.
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015