Seoul (ANTARA News) - Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok akan membahas sanksi lebih lanjut terhadap Korea Utara terkait program nuklir negara itu, demikian keterangan Menteri Luar Negeri AS John Kerry, Senin.

Berbicara di ibu kota Korea Selatan, Kerry mengatakan Washington telah menawarkan ke Korea Utara kesempatan untuk memperbaiki hubungan sebagai balasan bagi iktikad baik untuk mengakhiri program nuklirnya.

"Sampai saat ini, khususnya dengan provokasi baru-baru ini, jelas bahwa DPRK (Korea Utara) masih jauh dari memenuhi standar," kata Kerry dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Yun Byung-se.

"Sebaliknya Korea Utara melanjutkan program senjata nuklir dan rudal balistik," kata dia.

Korea Utara sudah mendapat sanksi berat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, dan Amerika Serikat karena melakukan uji coba senjata nuklir dan rudal.

"Kami (Amerika Serikat dan Tiongkok) membahas semuanya sekarang. Tiongkok jelas pengungkit luar biasa," katanya.

"Kami akan menggelar dialog keamanan dan ekonomi dengan Tiongkok di Washington pada Juni dan itu akan menjadi momen di mana kami akan merundingkan langkah-langkah spesifik," tambah Kerry.

Pada 2005 lalu, Pyongyang pernah menolak kesepakatan dengan Tiongkok, Jepang, Rusia, Korea Selatan dan Amerika Serikat untuk menghapus program nuklir dengan imbalan keuntungan ekonomi.

Lalu pada 2012, beberapa pekan setelah menandatangani kesepakatan moratorium uji coba nuklir dan rudal jarak jauh, Korea Utara kembali meluncurkan rudal balistiknya, membatalkan kesepakatan yang juga menjanjikan bantuan pangan Amerika Serikat ke negara itu.

Baru-baru ini Korea Utara menggelar uji coba apa yang dikatakan sebagai rudal balistik selam, meningkatkan ketegangan regional.

Kerry juga mengatakan bahwa Korea Utara berpotensi diajukan ke Mahkamah Pidana Internasional karena pelanggaran hak asasi manusia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merekomendasikan Korea Utara diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan setelah penyelidikan PBB merinci pelanggaran di negara itu.

Korea Utara secara teknis masih dalam perang dengan Korea Selatan setelah konflik 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan kesepakatan damai, dan secara rutin mengancam menyerang sekutu utama Korea Selatan, Amerika Serikat.

Tiongkok, sekutu utama Korea Utara, tidak pernah ikut menyalahkan Korea Utara atas program pengembangan nuklirnya tapi terus mendesak "denuklirisasi" semenanjung Korea, demikian seperti dilansir kantor berita Reuters.


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015