Ganti rugi yang diberikan negara terlalu rendah. Seharusnya korban kriminalisasi atau salah penerapan hukum bisa menjadi miliarder,"

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Tim Sembilan bentukan Presiden Joko Widodo, Komjen Polisi (Purn) Oegroseno mengatakan jumlah ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada para korban kriminalisasi atau salah penerapan hukum terlalu rendah.

"Ganti rugi yang diberikan negara terlalu rendah. Seharusnya korban kriminalisasi atau salah penerapan hukum bisa menjadi miliarder," ujar ujar Oegroseno dalam diskusi publik bertajuk "Gelar Perkara: Pemidaan yang Dipaksakan", yang diadakan di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Cikini, Jakarta, Jumat.

Dengan jumlah yang sesuai, menurut dia, negara memiliki risiko yang lebih berat jika secara salah menetapkan seseorang menjadi tersangka.

"Seharusnya denda itu di kisaran Rp1 miliar sampai Rp1 triliun," katanya.

Ada pun jumlah ganti rugi itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 9 Ayat (1) dan ayat (2).

Pada ayat (1) disebutkan, ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf (b) dan Pasal 95 KUHAP (tentang pemberian ganti kerugian) adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp5.000 dan setinggi-tingginya Rp1 juta.

Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp3 juta.

Sementara ada KUHAP Pasal 77 huruf (b) tertulis bahwa ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam KUHAP, ganti kerugian ini tertera pada Bab XII tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi pasal 95. Pada ayat (1) dinyatakan, tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Pewarta: Michael TA
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015